(Participatory Formulation
of Public
Policy)
( Studi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012
tentang RTRW Tahun 2011- 2031 di Kabupaten Tasikmalaya)
Oleh
Dr. Liestyodono B Irianto,M.Si, (NIDN: 0031126179)
Drs. Enceng, M.Si (NIDN: 0016076006)
Dra. Mani Festati Broto,M.Ed (NIDN: 0023026002)
Abstrak
Dalam proses pembuatan kebijakan
pemerintah peran serta masyarakat hanya bersifat pasif atau reaktif saja,
artinya keikutsertaan mereka hanya sebagai akibat dari kebijakan pemerintah. Masyarakat yang
akan terkena dampak dan menanggung resiko dari suatu kebijakan pemerintah,
memiliki hak yang tidak dapat diingkari untuk diikut-sertakan dalam pengambilan
keputusan mengenai kebijakan bersangkutan. Kenyataan menunjukkan bahwa
masyarakat belum dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, masyarakat
menjadi lebih aktif, dalam arti terdapat inisiatif untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
Tujuan
penelitian ini adalah menemukan Model Perumusan Kebijakan Publik Partisipatif
di Kabupaten Tasikmalaya sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi dan
sosial-budayanya yang dapat dijadikan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut
dilakukan penelitian empirik naturalistik (pendekatan kualitatif) dalam tiga
tahap selama tiga tahun. Tahap pertama
melakukan penelitian eksploratif untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat
dalam proses perumusan kebijakan publik
di Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini juga didukung oleh data
kuantitatif tentang partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan, dengan
menyebarkan angket. Hasilnya adalah deskripsi partisipasi masyarakat dalam
perumusan kebijakan di Kabupaten Tasikmalaya. Tahap kedua menyusun rancangan Model Perumusan Kebijakan Publik
Partisipatif di Kabupaten Tasikmalaya dengan cara: 1) pengembangan model
aplikasi berupa draf pedoman, 2) validasi konsep oleh semua pembuat rencana dan
para pemangku kepentingan berupa workshop
dan focus group discussion (FGD).Tahap ketiga adalah validasi empirik
dengan cara uji coba draf pedoman yang dikembangkan. Hasil akhirnya adalah
model yang telah teruji (valid) dan dapat diterapkan di Kabupaten Tasikmalaya.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa dalam perumusan kebijakan di Kabupaten Tasikmalaya pada saat ini ditandai dengan kinerja
aparatur yang belum optimal, sehingga kebijakan yang
dihasilkan belum
dirasakan maksimal oleh masyarakat
Kabupaten Tasikmalaya. Belum
optimalnya kinerja aparatur di Kabupaten Tasikmalaya selama ini, diduga karena belum
optimal/efektifnya kemampuan dan perilaku aparatur dalam menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai pemberi layanan kepada masyarakat.
Pada tatanan input
dilakukan berbagai perbaikan meliputi pemberdayaan aparatur baik melalui
pendidikan dan pelatihan praktis, menambah jumlah aparatur sesuai jumlah ideal
berdasarkan peraturan kepegawaian daerah. Dengan demikian untuk meningkatkan
kualitas sumber daya aparatur, perlu melakukan analisis personalia dalam rangka
merancang kebutuhan aparatur dalam perumusan kebijakan daerah sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
Key Word : Kebijakan Publik,
perumusan kebijakan publik, kebijakan publik partisipatif.
Pendahuluan
Partisipasi atau peran serta masyarakat dalam perumusan kebijakan sudah mulai dilakukan, walaupun sebagian
pihak menilai baru sebatas formalitas dan berlangsung satu arah saja.
Keterbatasan dana dan waktu, belum memadainya produk perundangan yang dapat
mendukung terlaksananya partisipasi masyarakat dalam setiap proses lahirnya
kebijakan sering menjadi alasan tidak optimalnya upaya pelibatan masyarakat
tersebut. Partisipasi
masyarakat menjadi mutlak dalam rangka menjalankan prinsip demokratisasi
pemerintahan. Idealnya partisipasi masyarakat dilibatkan sejak proses perumusan
kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Hal ini lebih
dikenal sebagai “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Pelaksanaan
kebijakan diharapkan dapat menjadi ajang peningkatan partisipasi masyarakat
dalam berbagai urusan publik. Untuk itu diperlukan tatanan masyarakat madani
yang memungkinkan terwakilinya berbagai kepentingan kelompok masyarakat yang
satu sama lain tidak saling menguasai tetapi bekerjasama melakukan upaya untuk
menyelaraskan berbagai kepentingan publik. Perwujudan nyata demokrasi ada pada
tingkatan sejauh mana rakyat turut berperan dalam merumuskan kebijakan daerah.
Fungsi pemda adalah sebagai pelayan dan fasilitator aktivitas
masyarakat, karena itu berbagai kegiatan dan kebijakan di era otonomi daerah
hendaknya makin banyak diserahkan atau melibatkan masyarakat. Sudah waktunya
menciptakan kesepakatan di daerah untuk setahap demi setahap berusaha
meningkatkan peran masyarakat dan mengurangi peran pemerintah. Salah satu jalan
yang seyogyanya ditempuh adalah menetapkan kepastian peraturan perundangan yang
menjamin tersedianya partisipasi masyarakat dalam proses perumusan/pembuatan
suatu kebijakan publik, sehingga tertanam kewajiban legal bagi pemerintah dan
DPR untuk melaksanakannya.
Dalam merumuskan kebijakan daerah, diperlukan adanya kemampuan dari
sumberdaya manusia (SDM) dalam hal ini aparat Pemerintahan Daerah yang
berkualitas. Para perumus kebijakan daerah
harus terdiri para tenaga profesional yang disamping ahli dan terampil dalam
penggunaan berbagai teknik dan model perumusan kebijakan juga telah memiliki
pengalaman praktik di lapangan. Jones (1996)
mengemukakan tahapan-tahapan dalam perumusan kebijakan publik, yaitu :
1) Perception/definition; Mendefinisikan
masalah adalah tahap awal dari proses kebijakan publik. Manusia menghadapi
masalah karena ada kebutuhan (needs) yang tidak dapat dipenuhi. Negara
bertugas membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam rangka welfare
state. Mengakses kebutuhan tidaklah sederhana, dibutuhkan sikap responsif,
kepekaan terhadap prakiraan-prakiraan kebutuhan masyarakat. Masalah masyarakat (public
problems) sangatlah kompleks, pembuat kebijakan sering mengalami kesulitan
membedakan antara masalah dan akibat dari masalah. 2) Aggregation; Tahap
mengumpulkan orang-orang yang mempunyai
pikiran sama dengan pembuat kebijakan. Atau mempengaruhi orang-orang agar
berpikiran sama terhadap suatu masalah. Dapat dilakukan melalui penulisan di
media massa, penelitian atau orasi. 3) Organization; Mengorganisasikan
orang-orang yang berhasil dikumpulkan tersebut ke dalam wadah organisasi baik
formal maupun informal. 4) Representation; Mengajak kumpulan orang-orang yang berpikiran sama
terhadap suatu masalah untuk mempengaruhi pembuat kebijakan agar masalah tersebut
dapat diakses ke agenda setting.
5) Agenda Setting; Terpilihnya
suatu masalah ke dalam agenda pembuat kebijakan. 6) Formulation; Tahap ini merupakan tahap
yang paling kritis, masalah dapat diredefinisi dan memperoleh solusi yang tidak popular di masyarakat
tetapi merupakan kepentingan kelompok mayor dari para pembuat kebijakan. Hal
ini disebabkan interaksi para pembuat
kebijakan baik sebagai individu, kelompok ataupun partai) yang dilakukan melalui negosiasi, bargaining, responsivitas
dan kompromi dalam memilih alternatif-alternatif. Formulasi juga membahas siapa
yang melaksanakan dan bagaimana cara melaksanakan output kebijakan. 7) Legitimation; Proses pengesahan dari
alternatif yang terpilih (public
policy decision making).
Keseluruhan proses perumusan kebijakan sampai dengan penetapan
kebijakan selalu melibatkan partisipasi masyarakat. Efektivitas perumusan
kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh perilaku pelaksananya (policy
stakeholders) serta lingkungan (environment), karena mereka
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah dan lingkungan kebijakan
(policy environment) yang merupakan konteks khusus dimana
kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi, sehingga proses
perumusan kebijakan merupakan proses yang dialektis dimana dimensi obyektif dan
subjektif dari pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari praktiknya.
B. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah
menemukan Model perumusan kebijakan yang ideal di Kabupaten Tasikmalaya sesuai
dengan kondisi sosial-politik dan sosial-budaya yang dapat dijadikan acuan Pemerintah
Daerah Kabupaten Tasikmalaya dalam merumuskan kebijakan publik yang
partisipatif.
C. Urgensi
(Keutamaan) Penelitian
Penelitian ini sangat penting dilakukan, karena saat ini Pemerintah Daerah
Kabupaten Tasikmalaya dalam membuat kebijakan belum melibatkan masyarakat
sebagai pengguna kebijakan. Di samping itu, belum adanya pedoman yang sesuai
dengan kondisi daerah setempat menjadikan model perumusan kebijakan perlu segera diwujudkan. Pedoman itu akan
sangat berguna bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya sebagai acuan dalam perumusan kebijakan
sehingga dapat digunakan sebagai dasar yang sistematis bagi pemerintah daerah
Kabupaten Tasikmalaya dalam merumuskan kebijakan publik yang partisipatif.
Penelitian
ini menggunakan pendekatan naturalistik/kualitatif. Penelitian ini bertujuan
mengungkapkan perumusan kebijakan publik yang partisipatif. Untuk dapat
mengungkapkan hal tersebut, peneliti akan melakukan penelitian eksploratif pada
Pemerintahan Daerah Kabupaten Tasikmalaya.
Dalam penelitian ekploratif tersebut, data diambil melalui wawancara
mendalam dengan informan kunci, studi dokumen, dan studi pustaka. Data yang
terkumpul dikategorisasi, dipetakan, kemudian dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Hasilnya adalah gambaran konkrit tentang perumusan kebijakan publik
berupa peraturan daerah. Aspek-aspek yang akan tergambarkan di sini adalah
sejauh mana upaya yang telah dilakukan Pemerintahan Daerah Kabupaten Tasikmalaya
dalam perumusan kebijakan publik yang partisipatif. Di samping itu, jika sudah
ada upaya pengembangan perumusan kebijakan publik yang partisipatif; akan tergambarkan konsep, kerangka pikir,
metode, mekanisme, dan prosedur perumusannya.
Penelitian
ini menggunakan pendekatan naturalistik/kualitatif. Pada tahun pertama penelitian ini bertujuan
mengungkapkan proses perumusan kebijakan publik. Untuk dapat mengungkapkan hal
tersebut, peneliti akan melakukan penelitian eksploratif di daerah penelitian
pada semua tingkat satuan organisasi dan pemangku kepentingan. Pada tahun kedua, berdasarkan hasil eksplorasi kebutuhan pada tahun pertama
dikembangkan model perumusan kebijakan publik partisipatif sesuai dengan
kondisi sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya daerah penelitian. Hasilnya
adalah draf model perumusan kebijakan publik partisipatif yang sesuai dengan
kondisi daerah penelitian. Metode yang dipakai dalam pengembangan model ini
adalah melalui lokakarya yang melibatkan pemangku kepentinan (Setda, Bappeda, dinas, lembaga pelaksana
teknis daerah, DPRD) , serta melalui focus
group discussion (FGD). Tahap ketiga adalah validasi empirik dengan
cara uji coba draf pedoman yang dikembangkan. Hasil akhirnya adalah model
perumusan kebijakan publik partisipatif yang telah teruji dan dapat
diterapkan di Kabupaten Tasikmalaya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Banyak faktor yang mempengaruhi
dalam meningkatkan kualitas perumusan kebijakan daerah, diantara faktor yang
perlu mendapatkan perhatian utama adalah mengidentifikasi faktor utama perumusan
kebijakan daerah yaitu menganalisis personalia dalam perumusan kebijkaan
daerah. Berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas perumusan kebijakan di
Kabupaten Tasikmalaya, tahapan-tahapan dalam peningkatan perumusan kebijakan
daerah, adalah sebagai berikut:
1)
Identifikasi faktor utama perumusan kebijakan.
a. Mengidentifikasi dengan jelas apa jenis
kebijakan yang akan dibuat dan siapa saja yang terlibat dalam proses perumusan
kebijakan RTRW di Kabupaten Tasikmalaya.
b. Mengidentifikasi dengan jelas siapa yang
menjadi target kebijakan yang secara
langsung merasakan dampak kebijakan tersebut. Masyarakat pengguna yang secara
tidak langsung merasakan dampak kebijakan tersebut.
c. Mengidentifikasi harapan masyarakat, dapat
dilakukan melalui survei dengan berbagai teknisnya, agar mendapatkan masukan
dari masyarakat tentang kebijakan mengenai apa saja yang diharapkan dari kebijakan
yang dikeluarkan Pemda Kabupaten Tasikmalaya.
d. Merancang mekanisme pengaduan keluhan dari
masyarakat, hal ini merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas perumusan
kebijakan.
2)
Analisis Personalia Pembuat Kebijakan
Daerah.
Analisis personalia dilakukan
dalam rangka merancang dan mengidentifikasi kebutuhan sumber daya manusia(SDM)
yang diperlukan dalam rangka merumuskan kebijakan sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan.
a. Identifikasi kebutuhan SDM secara riil
dalam upaya menghasilkan kebijakan daerah yang telah ditetapkan.
b. Identifikasi kebutuhan dan perencanaan
kebutuhan SDM, dilakukan dengan membandingkan hasil identifikasi kompetensi dan
kualifikasi yang telah dilakukan pada butir(1), dengan kondisi SDM secara riil
pada unit-unit terkait. Selanjutnya menyusun rencana pengembangan SDM yang
sistematis sesuai dengan kompetensi dan kualifikasi yang benar-benar dibutuhkan
tersebut secara nyata.
3) Menetapkan
Kewenangan dalam perumusan kebijakan daerah.
Agar kebijakan daerah dapat
memenuhi harapan masyarakat luas, maka perlu diidentifikasi kewenangan dan
sistem pengambilan keputusan. Atas dasar hasil identifikasi kegiatan-kegiatan
yang telah ditetapkan sebelumnya, selanjutnya dilakukan identifikasi
kewenangan-kewenangan apa saja yang melekat pada setiap tahapan perumusan
kebijakan daerah. selanjutnya kewenangan-kewenangan tersebut diklasifikasikan
dalam kelompok-kelompok tertentu, untuk diberikan kepada petugas sesuai dengan
bidangnya masing-masing.
Dalam rangka meningkatkan kualitas perumusan
kebijakan daerah di Kabupaten Sumedang dapat dilakukan dengan pendekatan model
analisis kesisteman dalam pengembangan sumber daya, dimana pengembangan sumber
daya aparatur bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri, akan tetapi
merupakan bagian dari sistem pengembangan aparatur yang lebih luas, bergerak
dinamis dan bersifat terbuka sehingga peka terhadap pengaruh faktor eksternal.
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
di masa mendatang, harus ada upaya perbaikan strategi dalam pengembangan
aparatur. Karakter spesifik dari pengembangan aparatur dalam rangka
meningkatkan kualitas perumusan kebijakan daerah adalah upaya untuk lebih
memberdayakan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan daerah, terutama
dalam rangka sosialisasi kebijakan. Strategi peningkatan kualitas perumusan
kebijakan daerah dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.
Tahap pertama yang merupakan situasi sekarang, dalam perumusan kebijakan RTRW di
Kabupaten Tasikmalaya pada saat ini ditandai dengan kinerja aparatur perumus kebijakan yang belum
optimal, sehingga kualitas kebijakan daerah yang dirasakan oleh masyarakat
khususnya masyarakat Kabupaten Tasikmalaya masih kurang. Belum optimalnya
kinerja aparatur di Kabupaten Tasikmalaya selama ini, diduga
karena belum optimal/efektifnya kemampuan dan perilaku aparatur Pemda dalam
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai perumus kebijakan daerah.
Pada tatanan input
ditunjukkan dengan masih banyaknya kelemahan pada unsur jumlah, kualitas dan
sikap mental dari aparatur, , sistem jaringan kerja yang belum tersedia,
fasilitas dan anggaran yang masih terbatas, kurangnya dukungan kebijakan
operasional dari pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan, dan lemahnya
kemampuan aparatur dalam perumusan kebijakan.
Pada tatanan proses
ditunjukkan dengan pencapaian kinerja aparatur masih rendah, seperti jumlah,
kualitas dan daya jangkau pelayanan kepada masyarakat. Perencanaan belum
dilaksanakan secara memadai, belum tersedianya data yang akurat mengenai
kelompok sasaran pelayanan, sistem jaringan kerja antara institusi yang terkait
dengan pelayanan kesehatan belum terjalin dengan baik, sistem pengendalian
pelaksanaan pelayanan masih rendah, dan evaluasi dan pelaporan hasil
pelaksanaan kegiatan pelayanan masih belum memadai.
Dari berbagai kelemahan pada tatanan input dan proses akan menghasilkan
output yang belum memadai pula,
yaitu kebijakan daerah yang belum menyentuh kebutuhan masyarakat. Hal tersebut
ditandai dengan tingkat pencapaian hasil kegiatan yang rendah, seperti masyarakat
yang dilayani, masih banyaknya keluhan masyarakat mengenai rendahnya kualitas
pelayanan. Masih sulitnya jangkauan tempat pelayanan / pusat perkantoran dengan
tempoat tinggal masyarakat pengguna pelayanan. Hal tersebut masih ditambah
dengan lingkungan organisasi yang kurang mendukung, baik lingkungan politik
berupa dukungan kebijakan operasional, lingkungan ekonomi berupa alokasi
anggaran pemerintah daerah yang masih rendah, serta lingkungan sosial yang berupa sikap dan
perilaku masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan publik.
Tahap kedua merupakan tahap antara, yang merupakan tahap pemecahan masalah perumusan
kebijkan daerah, melalui perbaikan terhadap berbagai kelemahan baik pada
tatanan input maupun proses.
Pada tatanan input dilakukan berbagai perbaikan meliputi pemberdayaan
aparatur baik melalui pendidikan dan pelatihan praktis, menambah jumlah aparatur
sesuai jumlah ideal berdasarkan peraturan kepegawaian daerah. Dengan demikian
untuk meningkatkan kualitas sumber daya aparatur, perlu melakukan analisis
personalia dalam rangka merancang kebutuhan aparatur dalam perumusan kebijakan
daerah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kelemahan penganggaran yang selama ini dialami Kabupaten Tasikmalaya,
yang berdampak kepada penyelenggaraan pelayanan pada dinas-dinas terkait, dapat
diatasi dengan cara merubah pola penyusunan anggaran/APBD. Pada tahap ini juga
perlu menganalisis proses dan prosedur, prasyarat, sarana dan prasarana, waktu,
dan biaya pelayanan. Proses dan prosedur pelayanan perlu dirancang dengan baik
dan sederhana, mulai dari awal pelaksanaan hingga akhir proses pelayanan.
Persyaratan pelayanan harus jelas dan tegas, diharapkan dapat dilihat dan dibaca
oleh masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Perlu dirancang dukungan
sarana dan prasarana yang tepat jumlah, kualitas, efektif dan efisien dalam
penggunaannya. Akhirnya perlu merancang waktu yang efektif/efisien dan biaya
pelayanan yang terjangkau apabila dimungkinkan gratis, tetap dengan kualitas
pelayanan yang baik.
Untuk meningkatkan dukungan lingkungan dapat
dilakukan dengan membentuk forum komunikasi yang melibatkan komponen-komponen
pimpinan daerah, LSM, tokoh masyarakat dan sebagainya. Forum ini dapat
dipergunakan sebagai ajang diskusi, pembahasan dan perencanaan program-program
yang dapat memecahkan masalah dalam masyarakat.
Tahap
ketiga merupakan situasi yang diharapkan, yang
merupakan kondisi ideal dari proses perumusan kebijakan daerah yang
poartisipatif di Kabupaten Tasikmalaya.
Pada tatanan ketiga ini ditandai dengan peran dan
partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan daerah di Kabupaten Tasikmalaya
yang meningkat, termasuk didalamnya adalah dukungan dana, kemampuan, sikap dan
perilaku aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang semakin
meningkat.
Pada tahap ketiga
ini ada beberapa indikator yang dapat ditemukan antara lain :
1) Meluasnya jangkauan pelayanan kepada
masyarakat, dengan dibangunnya kantor-kantor yang berada di pusat perkantoran
di Kecamatan Singaparna.
2) Meningkatnya mutu pelayanan kepada
masyarakat, diwujudkan dengan meningkatnya keterampilan aparatur. Tersedianya
perencanaan penyelenggaraan pelayanan baik di tingkat kabupaten maupun di
masing-masing dinas, yang mencakup jumlah SDM, anggaran, sarana prasarana pokok
dan penunjang pelayanan.
3) Tersedianya sarana dan prasarana pelayanan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
4) Tingkat partisipasi masyarakat yang
meningkat, yang ditandai dengan aktivitas dukungan terhadap penyelenggaraan
pelayanan masyarakat. Misalnya, partisipsai masyarakat melalui pengembangan
pembangunan masyarakat desa (PMD). Prinsip kerja PMD adalah berkembangnya
kegiatan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri. kegiatannya perlu dilakukan
melalui gotong royong dan swadaya masyarakat.
5) Dukungan pemerintah daerah terhadap
penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang meningkat, dalam bentuk penetapan
kebijakan operasional, pengendalian kebijakan operasional, serta alokasi
sumber-sumber yang dibutuhkan dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
Fungsi pemda adalah sebagai pelayan dan fasilitator aktivitas
masyarakat, karena itu berbagai kegiatan dan kebijakan di era otonomi daerah
hendaknya makin banyak diserahkan atau melibatkan masyarakat. Sudah waktunya
menciptakan kesepakatan di daerah untuk setahap demi setahap berusaha
meningkatkan peran masyarakat dan mengurangi peran pemerintah. Salah satu jalan
yang seyogyanya ditempuh adalah menetapkan kepastian peraturan perundangan yang
menjamin tersedianya partisipasi masyarakat dalam proses perumusan/pembuatan
suatu kebijakan publik, sehingga tertanam kewajiban legal bagi pemerintah dan
DPRD untuk
melaksanakannya.
Dalam merumuskan kebijakan daerah, diperlukan adanya kemampuan dari
sumberdaya manusia( SDM) dalam hal ini aparat Pemda yang berkualitas. Para
perumus kebijakan daerah harus terdiri para tenaga profesional yang disamping
ahli dan terampil dalam penggunaan berbagai teknik dan model perumusan
kebijakan juga telah memiliki pengalaman praktek dilapangan. Jones mengemukakan tahapan-tahapan dalam perumusan
kebijakan publik, yaitu : 1) Perception/definition : Mendefinisikan masalah adalah tahap
awal dari proses kebijakan publik. Manusia menghadapi masalah karena ada
kebutuhan (needs) yang tidak dapat dipenuhi. Negara bertugas membantu
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam rangka welfare state.
Mengakses kebutuhan tidaklah sederhana, dibutuhkan sikap responsif, kepekaan
terhadap prakiraan-prakiraan kebutuhan masyarakat. Masalah masyarakat (public
problems) sangatlah kompleks, pembuat kebijakan sering mengalami kesulitan
membedakan antara masalah dan akibat dari masalah. 2) Aggregation : Tahap
mengumpulkan orang-orang yang mempunyai
pikiran sama dengan pembuat kebijakan. Atau mempengaruhi orang-orang agar
berpikiran sama terhadap suatu masalah. Dapat dilakukan melalui penulisan di
media massa, penelitian atau orasi. 3) Organization: Mengorganisasikan orang-orang yang
berhasil dikumpulkan tersebut ke dalam wadah organisasi baik formal maupun
informal.4) Representation: Mengajak kumpulan orang-orang yang
berpikiran sama terhadap suatu masalah untuk mempengaruhi pembuat kebijakan
agar masalah tersebut dapat diakses ke agenda setting. 5) Agenda Setting : Terpilihnya suatu
masalah ke dalam agenda pembuat kebijakan. 6) Formulation: Tahap ini
merupakan tahap yang paling kritis, masalah dapat diredefinisi dan memperoleh solusi yang tidak popular di
masyarakat tetapi merupakan kepentingan kelompok mayor dari para pembuat
kebijakan. Hal ini disebabkan interaksi
para pembuat kebijakan baik sebagai individu, kelompok ataupun partai)
yang dilakukan melalui negosiasi,
bargaining, responsivitas dan kompromi dalam memilih alternatif-alternatif.
Formulasi juga membahas siapa yang melaksanakan dan bagaimana cara melaksanakan
output kebijakan. 7) Legitimation: Proses pengesahan dari alternatif
yang terpilih (public policy decision
making).
Keseluruhan proses perumusan kebijakan sampai dengan penetapan
kebijakan selalu melibatkan partisipasi masyarakat. Efektivitas perumusan
kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh perilaku pelaksananya (policy
stakeholders) serta lingkungan (environment), karena mereka
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah dan lingkungan kebijakan
(policy environment) yang merupakan konteks khusus dimana
kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi, sehingga proses
perumusan kebijakan merupakan proses yang dialektis dimana dimensi obyektif dan
subjektif dari pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari prakteknya.
Gaventa dan
Valderama (2001) menegaskan bahwa partisipasi warga telah mengalihkan konsep
partisipasi “….dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum
tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan pelbagai bentuk keikutsertaan warga
dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang
kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”.
Menurut Suhirman
(2003), ada beberapa perkembangan konsep dan asumsi dasar yang menjadi dasar
bagi meluasnya gagasan dan praktek partisipasi warga. Pertama, partisipasi merupakan hak politik yang
melekat pada warga sebagaimana hak politik lainnya. Karena
melekat, maka hak ini tidak hilang ketika ia memberikan mandat pada orang untuk
duduk dalam lembaga pemerintahan. Pemberian mandat bersifat parsial, yaitu
mendudukan wakilnya untuk membahas dan memutuskan urusan publik di lembaga
formal kenegaraan. Sedangkan hak politik –sebagai hak asasi manusia- tetap
melekat pada setiap individu yang bersangkutan. Untuk itu adalah hak setiap
warga untuk menjaga ruang publik dari intervensi negara, mengagregasikan
persoalan dan berbagai kepentingan di ruang publik, merancang agenda publik,
dan terus menerus mengawasi lembaga perwakilan dan pemerintahan agar bekerja
sesuai dengan mandat yang diberikan.
Kedua, partisipasi langsung dalam
pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik di lembaga-lembaga formal dapat
untuk menutupi kegagalan demokrasi perwakilan. Meskipun secara konsep sulit dibantah dan
dalam praktek diterapkan dihampir semua negara demokratis, demokrasi perwakilan
masih menyisakan beberapa kelemahan. Sejauh mana.orang yang dipilih dapat
merepresentasikan kehendak masyarakat luas? Sejauh mana kita mengetahui bahwa
orang yang dipilih dan didudukan dalam lembaga perwakilan dan pemerintahan
menjalankan mandat pemilihnya? Bagaimana bentuk dan mekanisme
pertanggungjawaban orang yang dipilih terhadap pemilihnya? Siapa yang
menanggung akibat kesalahan keputusan publik dari wakil yang dipilih? Bagaimana
jika orang yang dipilih ternyata menghianati mandatnya? Apakah orang/partai
pemenang pemilu dapat mengontrol birokrasi pemerintahan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dapat
dijawab secara memuaskan oleh pendekatan
demokrasi perwakilan. Karena itu, untuk
keputusan-keputusan publik yang langsung berimplikasi pada kesejahteraan sosial
eknomi warga harus dilibatkan dalam formulasi dan pengambilan keputusan.
Formulasi dan pengambilan keputusan kebijakan publik secara langsung ini dapat
dipandang sebagai salah satu perwujudan demokrasi deliberatif atau salah satu
langkah penting untuk mendemokrasikan demokrasi (democratizing democracy).
Ketiga, menjadikan partisipasi
menjadi lebih bermakna. Karena posisinya yang berada ‘diluar’ lembaga
kepemerintahan, seringkali partisipasi sosial yang melibatkan mobilisasi
organisasi rakyat yang luas tidak dapat mempengaruhi lembaga pemerintahan yang
diberi mandat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik. Seringkali
terjadi ‘paralel discourse’ antara lembaga formal pemerintah dengan
organisasi rakyat. Ini berarti kehendak rakyat tidak tercermin dalam formulasi
dan implementasi kebijakan lembaga formal. Situasi ini seringkali menyebabkan
masyarakat menjadi frustasi dan menganggap partisipasi sebagai hal yang
sia-sia. Partisipasi warga, yang melibatkan warga untuk secara luas berpartisipasi
langsung dalam pengambilan keputusan publik, dapat mendorong partisipasi
menjadi lebih bermakna.
Keempat, partisipasi harus dilakukan
secara sistemik bukan hal yang insidental. Dalam partisipasi politik,
partisipasi yang memiliki arti biasanya hanya dilakukan dalam siklus politik
untuk memilih dan mendudukan wakil rakyat (misalnya 5 tahun sekali), atau dalam
konsep partisipasi sosial partisipasi dihubungkan dengan siklus proyek. Partisipasi warga memungkinkan warga terlibat
secara sistemik dan terus menerus dalam
pengambilan keputusan publik.
Kelima, semakin diterimanya
desentralisasi sebagai instrumen untuk mendorong tata pemerintahan yang baik (good
governance). Desentralisasi dapat diartikan sebagai”
:..pengalihan kekuasaaan dan/atau wewenang untuk merencanakan, memutuskan,
dan/atau mengelola urusan publik, dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi ke
tingkat pemerintah yang lebih rendah..”(Diane Conyers, 1990) dalam tingkat
tertentu desentralisasi memungkinkan …orang-orang yang berwenang dalam
institusi pada tingkat menengah dan atau daerah dipilih secara langsung dan
tidak langsung lewat pemungutan suara..” (Manor, 1996). Saat desentralisasi
terjadi, dan bila demokratis, pemerintah pusat diminta memainkan peran baru
serta membentuk hubungan baru dengan lembaga pemerintahan di tingkat lokal.
Keenam, partisipasi warga dapat
meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara dan lembaga pemerintahan.
Demokratisasi dan desentralisasi di negara berkembang-termasuk Indonesia-
terjadi dalam situasi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara
dan lembaga pemerintahan. Kekecewaan terjadi baik karena kegagalan prosedur
politik maupun responsifitas penyelenggara negara terhadap keluhan warga.
Dengan melibatkan warga dalam proses pengambilan keputusan maka diharapkan
kepercayaan publik terhadap penyelenggara dan lembaga pemerintahan dapat terus
ditingkatkan. Meningkatnya kepercayaan warga ini dipercaya sebagai indikator
penting bagi menguatnya dukungan dan keabsahan pemerintahan yang berkuasa.
Ketujuh, dalam konteks Indonesia,
kita perlu mendorong warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kebijakan publik secara langsung. Hal ini disebabkan selama 32
tahun masa Pemerintahan Rezim Orde baru, masyarakat Indonesia ada dalam tatanan
sistem pemerintahan yang –meminjam istilah O’ Donnel, Mohtar Mas’ud, dan A.S.
Hikam- birokratis dan korporatis. Dalam tatanan ini seluruh kekuatan masyarakat
ada dalam kontrol negara. Melalui kontrol yang sistemis terhadap kekuatan
masyarakat sampai ke arus bawah, negara tampil sebagai kekuatan politik yang
dominan. Negara memainkan peran kunci dan selalu mengoptimalkan kemampuan yang
dimilikinya untuk mengatur hubungan sosial, menekan masyarakat, dan memiliki
hak prerogratif untuk mengelola sumber daya. Negara dalam sistem birokratik
otoriter dan korporatis menginvasi organisasi sosial formal maupun non-formal,
sehingga masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi. Dalam ungkapan
yang lebih ekstrem, birokrasi negara menjadi pemangsa kekuatan sosial di
masyarakat. Kekuatan, kemandirian, dan kemajemukan masyarakatpun lumpuh. Untuk
mengimbangi kekuatan birokrasi negara kita memerlukan organisasi rakyat yang
mandiri, cerdas, dan berorientasi pada kepentingan publik. Dalam konteks ini,
partisipasi warga dapat dipandang sebagai salah satu instrumen ‘pemberdayaan’
warga untuk mengimbangi dominasi kekuatan negara.
Peran serta masyarakat pada berbagai tingkat dalam proses kebijakan
dapat berupa salah satu atau kombinasi dari tiga bentuk yang berikut: horizontal, vertikal dan administratif.
Peran serta horizontal terjadi dalam hubungan yang bersifat demokratis antara
rakyat dengan pemerintah. Rakyat berperanserta
dalam politik seperti disebutkan di atas dengan tujuan untuk ikut
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Peran serta ini dapat berbentuk positif,
seperti pemilihan umum, dukungan, bela negara, dan sebagainya. Dapat juga
berbentuk negatif, seperti demonstrasi,kritik, tuntutan, dan lain-lain. Namun,
semua ini dalam proses kebijakan harus dianggap positif. Artinya, ada
kepedulian dan tanggung jawab dari pihak rakyat pada kelangsungan hidup negara
dan kebijakan pemerintah. Peran serta ini dapat terjadi bila rakyat sadar bahwa
kebijakan pemerintah mempunyai dampak pada kehidupannya dan keikutsertaan mereka
dapat mempengaruhi kebijakan itu. Hal ini tidak akan terjadi di negara-negara
yang belum maju, dengan rakyat yang masih belum mengerti akibat dari kebijakan
pemerintah, dan dengan aparat pemerintah yang juga masih belum mengerti arti
penting dari peran serta masyarakat.
Peran serta yang bersifat vertikal
terjadi dalam hubungan yang bersifat hierarkis, antara atasan dengan bawahan,
antara daerah dengan pusat, antara anak angkat dengan bapak angkat, dan
sebagainya. Karena hubungan yang demikian biasanya cenderung berat sebelah,
yakni, lebih menguntungkan pihak yang kuat, peran serta yang demikian perlu
ditata agar dampak negatif dari hubungan yang tidak seimbang itu bisa
dihindarkan. Penataan ini dapat melalui instansi pemerintah atau melalui
organisasi non-pemerintah yang dapat menjamin peran aktif dan perlindungan
kepentingan pihak yang lemah.
Partisipasi dapat dibedakan sebagai partisipasi yang efektif, dalam
arti berhasil mencapai sasaran yang diinginkan, dan partisipasi yang tidak yang
tidak efektif, yang tidak dapat mencapai tujuan dari partisipasi tersebut.
Partisipasi yang efektif biasanya terorganisasi secara baik, ada tujuan, ada
pimpinan, ada massa
yang terikat, dan ada strategi dan ada tanggung jawab. Sebab itu juga dapat
dibedakan antara partisipasi yang terorganisir dengan partisipasi yang tidak
terorganisir. Dalam praktek, banyak partisipasi masyarakat timbul dengan mengambil bentuk dan sifat yang
bermacam-macam. Namun, tidak semua gerakan masyarakat dapat dianggap
partisipasi masyarakat. Huntington
membatasi partisipasi masyarakat sebagai kegiatan yang dilakukan oleh warga
negara sipil (bukan aparat pemerintah) yang bertujuan untuk mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Dengan demikian, peran serta baru dapat dikatakan suatu
partisipasi kalau sudah berupa kegiatan, bukan sekedar suatu sikap. Suatu sikap
yang tidak diwujudkan dalam bentuk
kegiatan belum dapat dikategorikan sebagai partisipasi. Dan ini juga bukan
partisipasi masyarakat kalau tidak bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan dari
pemerintah.
Perkembagan
konsep partisipasi telah menempakannya mejadi konsep yang luas dan dalam
seringkali memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang. Dalam beberapa hal partisipasi
telah menjadi konsep yang omnibus (apapun dapat disebut partisipasi).
Salah satu cara untuk memahami partisipasi adalah dengan menggunakan “tangga
partisipasi”.
Tangga partisipasi memperlihatkan
relasi antara warga dengan pemerintah dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan
publik.
Sejak
diperkenalkan oleh Sherry Arnstein, kurang lebih 20 tahun yang lalu, banyak pihak
yang mencoba merumuskan tangga partisipasi. Menarik untuk dicatat, adalah seringkali
pemaknaan atas suatu tingkat partisipasi berbeda satu dengan yang lain. New Economic
Foundation (2001) merumuskan tangga partisipasi –dari yang terendah sampai tertinggi-
sebagai berikut:
1.
Manipulasi, pemerintah memberikan informasi, dalam banyak hal berupa informasi dan
kepercayaan yang keliru (false assumsion), kepada warga. Dalam beberapa
hal pemerintah malkukan mobilisasi warga yang mendukung/dibuat mendukung keputusannya
untuk menunjukkan bahwa kebijakannya populer (memperoleh dukungan).
2.
Penentraman, pemerintah memberikan informasi dengan tujuan agar warga tidak memberikan
perlawanan atas keputusan yang telah ditetapkan. Pemberian informasi seringkali
didukung oleh pengerahan kekuatan (baik hukum maupun psikologis).
3.
Sosialisasi, pemerintah memberikan informasi mengenai keputusan yang telah dibuat dan
mengajak warga untuk melaksanakan keputusan tersebut.
4.
Konsultasi, pemerintah meminta saran dan kritik dari masyarakat sebelum suatu keputusan
ditetapkan.
5.
Kemitraan, masyarakat dilibatkan untuk merancang dan mengambil keputusan bersama
dengan pemerintah.
6.
Pendelegasian kekuasaan, pemerintah mendelegasikan keputusan untuk ditetapkan oleh warga.
7.
Pengawasan oleh warga, warga memiliki kekuasaan mengawasi secara langsung keputusan yang
telah diambil dan menolak pelaksanaan keputusan yang bertentangan dengan tujuan
yang telah ditetapkan.
Dalam tangga
partisipasi, para praktisi umumnya menerima konsep bahwa manipulasi pada
dasarnya bukanlah partisipasi. Penentraman, informasi, dan konsultasi pada
dasarnya adalah bentuk lain dari tokenisme yaitu kebijakan skedarnya berupa
upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian
suatu tujuan. Sedangkan kemitraan, pendelegasian kekuasaaan, dan pengawasan
oleh warga diterima sebagai wujud dari kekuasaan dan partisipasi warga.
Para praktisi juga umumnya menerima bahwa tangga yang lebih tinggi
merupakan wujud dari kualitas partisipasi yang lebih tinggi. Tetapi para
praktisi juga dapat menerima bentuk partisipasi yang lebih rendah dalam situasi
sosial politik sejauh bentuk tersebut merupakan salah satu strategi untuk
mendorong partisipasi yang lebih luas.
Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2003) di Kota
Malang menunjukkan bahwa, kebijakan yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif
mengabaikan prinsip-prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas publik.
Misalnya dalam proses penyusunan APBD partisipasi masyarakat masih dalam tahap
tokenisme melalui tahapan penentraman, penginformasian dan konsultasi. Hal ini
disebabkan belum adanya peraturan hukum yang mengatur tentang partisipasi
rakyat dalam proses penyusunan dan pelaksanaan APBD Kota Malang.
Proses pembuatan kebijakan publik (Perda RTRW) di Kabupaten Tasikmalaya
yang berjalan saat ini telah mengakomodasi masukan dari berbagai kalangan.
Munculnya aktor-aktor baru/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik yang memihak
maupun yang kontra terhadap kebijakan pemerintah kabupaten cukup menentukan
arah kebijakan publik tingkat lokal.
Kabupaten Tasikmalaya memiliki caranya sendiri dalam mengakomodasi
masukan dari para aktor kebijakan dalam rangka mengembangkan proses perumusan
kebijakan yang lebih partisipatif. Beberapa catatan dalam proses perumusan
kebijakan yang sedang berjalan:
1.
Pada level aksekutif dan Legislatif
masih didominasi oleh kekuatan partai politik dalam memaksakan kemauan
politiknya dalam mengambil keputusan. Kekuatan voting masing didominir oleh
partai penguasa, termasuk dalam menetapkan Ibukota Tasikmalaya di Singaparna.
Terobosan yang dilakukan LSM dalam pembaharuan perumusan kebijakan yang lebih
partisipatif masih bersifat perorangan, dan belum melembaga.
2.
Apabila posisi penentu kebijakan ini pindah ke tangan pejabat lain
(baik di eksekutif maupun legislatif) dengan dominasi partai
yang berbeda akan menghasilkan keputusan politik yang berbeda pula. Tentunya
peran masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh LSM, dan tokoh-tokoh
masyarakat lainnya harus memiliki peran kontrol kebijakan yang kuat.
3.
Penetapan kebijakan sering ditafsirkan
sebagai penggunaan hak
khusus dari pejabat penyelenggara pemerintah daerah, bukan mengemban keinginan masyarakat luas. Saat ini sudah terlihat pelibatan LSM
dalam berbagai kegiatan di pemerintahan, sebagai pertanda terbukanya pintu
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Namun pelibatan itu tidak jarang disertai dengan agenda
tersembunyi dari para pejabat pemerintahan daerah kabupaten Tasikmalaya. LSM sering ditafsirkan sebagai potensi pembuat ulah dan mengganggu mekanisme pembuatan kebijakan, maka pelibatan mereka
dengan tujuan agar tidak membuat masalah.
4.
Ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pembuatan kebijakan daerah memang telah mengalami perubahan mendasar, namun kekuasaan badan legislatif yang begitu besar dalam penentuan
kebijakan publik. Dari segi aktor yang duduk di dalam lembaga legislatif ini, tidak cukup
bukti untuk mengatakan bahwa mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang
kompeten dan memiliki komitmen besar dalam pengembangan partisipasi publik. Saat
ini mayoritas yang duduk dalam legislatif adalah dari Partai Persatuan
Pembangunan, merupakan partai yang mengusung Bupati.
5. LSM tertentu tidak diberikan jaminan dan saluran bagi partisipasi masyarakat. Mereka tidak
dapat memotoring proses agenda setting di Kabupaten
Tasikmalaya. Mereka berada diluar lingkaran penentu kebijakan.
Mereka tidak dapat mendorong penentu kebijakan mengagendakan pembakuan proses kebijakan yang partisipatif.
DRAFT MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PARTISIPATIF
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Dalam perumusan kebijakan di Kabupaten Tasikmalaya pada saat ini
ditandai dengan kinerja aparatur yang belum optimal, sehingga kebijakan yang
dihasilkan belum
dirasakan maksimal oleh masyarakat
Kabupaten Tasikmalaya. Belum
optimalnya kinerja aparatur di Kabupaten Tasikmalaya selama ini, diduga karena belum
optimal/efektifnya kemampuan dan perilaku aparatur dalam menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai pemberi layanan kepada masyarakat.
Pada tatanan input dilakukan berbagai perbaikan
meliputi pemberdayaan aparatur baik melalui pendidikan dan pelatihan praktis,
menambah jumlah aparatur sesuai jumlah ideal berdasarkan peraturan kepegawaian
daerah. Dengan demikian untuk meningkatkan kualitas sumber daya aparatur, perlu
melakukan analisis personalia dalam rangka merancang kebutuhan aparatur dalam perumusan
kebijakan daerah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kelemahan penganggaran yang selama ini dialami
Kabupaten Tasikmalaya, yang berdampak kepada penyelenggaraan pelayanan pada dinas-dinas
terkait, dapat diatasi dengan cara merubah pola penyusunan anggaran/APBD. Pada
tahap ini juga perlu menganalisis proses dan prosedur, prasyarat, sarana dan
prasarana, waktu, dan biaya pelayanan. Proses dan prosedur pelayanan perlu
dirancang dengan baik dan sederhana, mulai dari awal pelaksanaan hingga akhir
proses pelayanan. Persyaratan pelayanan harus jelas dan tegas, diharapkan dapat
dilihat dan dibaca oleh masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Perlu
dirancang dukungan sarana dan prasarana yang tepat jumlah, kualitas, efektif
dan efisien dalam penggunaannya. Akhirnya perlu merancang waktu yang
efektif/efisien dan biaya pelayanan yang terjangkau apabila dimungkinkan
gratis, tetap dengan kualitas pelayanan yang baik.
Untuk meningkatkan dukungan lingkungan dapat
dilakukan dengan membentuk forum komunikasi yang melibatkan komponen-komponen
pimpinan daerah, LSM, tokoh masyarakat dan sebagainya. Forum ini dapat
dipergunakan sebagai ajang diskusi, pembahasan dan perencanaan program-program
yang dapat memecahkan masalah dalam masyarakat.
Saran-saran
Bagi Penelitian Lebih Lanjut
Dalam Penelitian tahap pertama dengan melakukan penelitian eksploratif
telah menghasilkan deskripsi perumusan
kebijakan daerah di Kabupaten tasikmalaya. Untuk
selanjutnya penelitian ini perlu dilanjutkan ke tahap kedua dengan menyusun
rancangan model perumusan
kebijakan partisipatif dengan cara: 1) pengembangan model
aplikatif berupa draf pedoman, 2) validasi konsep oleh
semua pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingan berupa workshop dan focus group
discussion (FGD). Dan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini perlu
dituntaskan sampai tahap ketiga melalui validasi empirik dengan cara uji coba
draf pedoman yang dikembangkan. Hasil akhirnya adalah model yang telah teruji
(valid) dan dapat diterapkan pada Kabupaten/kota.
Bagi Aspek Praktis
1.
Perlu
memperluas jangkauan pelayanan kepada masyarakat, dengan dibangunnya kantor-kantor
yang berada di pusat perkantoran di Kecamatan Singaparna.
2.
Perlu
meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat, diwujudkan dengan meningkatnya keterampilan aparatur. Tersedianya
perencanaan penyelenggaraan pelayanan baik di tingkat kabupaten maupun di
masing-masing dinas, yang mencakup jumlah SDM, anggaran, sarana prasarana pokok
dan penunjang pelayanan.
3.
Perlu
meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
4.
Perlu
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas dukungan terhadap penyelenggaraan
pelayanan masyarakat. Misalnya, partisipsai masyarakat melalui pengembangan
pembangunan masyarakat desa (PMD). Prinsip kerja PMD adalah berkembangnya
kegiatan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri. kegiatannya perlu dilakukan
melalui gotong royong dan swadaya masyarakat.
5.
Perlu
dukungan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang
meningkat, dalam bentuk penetapan kebijakan operasional, pengendalian kebijakan
operasional, serta alokasi sumber-sumber yang dibutuhkan dalam upaya
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik, Edisi Revisi, Jakarta: Yayasan Pancur Siwah
Anderson, James E.
1979. Public Policy Making. New
York : Holt,Rinehartnd Winston
Altman,
John A., and Ed Petkus Jr. "Toward a stakeholder-based policy process: An
application of the social marketing perspective to environmental policy
development." Policy Sciences 27.1 (1994): 37-51.
Gani, Abdul Yuli Andi. 2006. Memunculkan Tindakan Kolektif dalam Proses
Pembuatan Kebijakan Publik (Suatu Studi tentang Penataan PKL di Kota Malang
dengan melibatkan stakeholders). Laporan Penelitian, Tidak dipublikasikan.
Gaventa, John dan
Camilo Valderama. 2001. Partisipasi,
Kewargaan, dan Pemerintah Daerah, sebagai pengantar buku Mewujudan
Partisipasi: Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21, Penerbit: The
British Council dan New Economics Foundation.
Hamka,dkk
(2013), Tingkat Keterlibatan Masyarakat dalam
Pembuatan Kebijakan di Kawasan Timur Indonesia, http://www.stialan.ac.id/artikel/artikel%20hamka.pdf.
Heineman, R.A.,
W.T.Bluhm, S.A.Peterson, and
E.N.Kearny. 1997. The World of The
Policy Analyst. Chatam,NJ : Chatam House Publishers, Inc.
Hill, Michael. 1993. The Policy Process. New York : Harvester
Wheatsheaf
Huntington, Samuel P. And
Joan Nelson. 1990. (terj.) Partisipasi
Politik di Negara Berkembang. Jakarta:Rineka Cipta.
Jones, Charles O. 1977. An Introduction to the Study of Public
Policy. 2nd. Ed. North Scituate, MA: Duxbury Press.
--------------------. 1996.
Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy. Terjemahan Ricky Ismanto. Jakarta : Penerbit PT
RajaGrafmdo Persada.
Liestyodono,
dkk (2010). Model Pelayanan Puskesmas Yang Berkualitas ( Studi Kasus Pada
Puskesmas di kabupaten Sumedang) Laporan Penelitian Hibah Bersaing, LPPM
Universitas Terbuka.
Parsons, Wayne.
1997. Public Policy. Cheltenham :
Edward Elgar
Patton,,C.V. and
David S.Sawicki. Basic Methods of Policy Analysis and Planning . Englewood Cliffs,NJ :
Prentice-Hall
Sabatier , P.A.
1986. “ Top-Down and Bottom-Up Approaches to Implemen tation Research” in
Michael Hill. 1993. The Policy
Process. New York
:
Harvester Wheatsheaf
Suhirman. 2003. Partisipasi dalam Proses
Pembuatan Kebijakan: Analisis Atas Kerangka Hukum dan Praktik Pembuatan
Kebijakan Ketenagakerjaan. Makalah
disampaikan dalam Conference on ‘Decentralization, Regulatory Reform and the
Business Climate’ diselenggarakan oelh PEG-USAID di Hotel Borobudur Jakarta
12 Agustus 2003.
Suwitri,
Sri(2008) . Jejaring kebijakan dalam
perumusan kebijakan publik ( Suatu Kajian Tentang Perumusan Kebijakan
Penanggulangan Banjir Dan Rob Pemerintah Kota Semarang) , Jurnal Delegasi, Jurnal Ilmu Administrasi,
STIA Banjarmasin, Vol. VI No. 3, Januari 2008, Terakreditasi KepDirjenDikti No.
56/DIKTI/KEP/2005)Januari 2008, Terakreditasi KepDirjenDikti No.
56/DIKTI/KEP/2005).
Suwitri, dkk (2012) Analisis Kebijakan publik, Modul Universitas
Terbuka, Jakarta.
Syamsul Bahri dan Sopanah. 2005. Strategi Penguatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan
Proses Penyusunan dan Pelaksanaan APBD. Laporan
Penelitian. Tidak dipublikasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar