Birokrasi
Oleh liestyodonoB.I.
I.
PENDAHULUAN
Teori Klasik Administrasi Publik dimulai
dari pembahasan tentang konsep Birokrasi yang disampaikan Max Weber. Perbedaan
yang nampak antara penulis mancanegara dengan penulis dalam negeri dalam
memahami pengertian administrasi ini adalah bahwa para penulis mancanegara
menekankan bahwa proses birokrasi terjadi dimana saja, baik lembaga publik
maupun lembaga privat, baik pemerintah maupun swasta. Berbeda halnya dengan
kebanyakan para penulis dalam negeri, umumnya cenderung memahami pengertian
konsep birokrasi ini sebagai proses yang lebih banyak terjadi di
lembaga-lembaga publik maupun lembaga-lembaga pemerintah yang dengan dengan
kekuasaan.
Pada umumnya orang menilai dan memiliki
kesan terhadap birokrasi sebagai negatif : kelambanan, berbelit-belit,
dipersulit, pemborosan, kinerja yang buruk ds. Padahal pada awal konsep ini
dikembangkan justru sebenarnya dimaksudkan untuk hal yang sebaliknya. Maka dari
itu, adalah bisa dimaklumi seandainya muncul peseimisme dari beberapa kalangan
terhadap keberlangsungan birokrasi ini. Disinilah letak titik kritis atas
birokrasi ini. Dengan demikian perlu dikaji dan dikaji ulang dimana letak
kesalahannya agar kesan dan penilaian orang terhadap birokrasi itu sesuai
dengan maksud pengembangannya.
Prinsip Manajemen Ilmiah yang disampaikan
FW. Taylor menjadi teori berikutnya dalam kelompok klasik ini. Ketika menemukan
metode dan suasana kerja yang buruk ia ingin mencari solusi untuk
memperbaikinya. Ia menyarankan agar para manajer melakukan perubahan cara
berpikir dengan melakukan applikasi ilmu dalam praktek manajemen keseharian.
Pemikir berikutnya adalah Henry Fayol yang berusaha menjelaskan prinsip-prinsip
umum yang dapat diterapkan pada semua level administrasi dan berusaha menjelaskan
fungsi-fungsi yang harus dilakukan oleh seorang manajer. Empat belas prinsip
administrasi yang disampaikan oleh Fayol menjadi acuan yang tidak bisa
ditinggalkan oleh kebanyakan para manajer.
Ada yang mengatakan bahwa Herbert Simon
adalah penerus pemikiran-pemikiran intelek dari Chester Barnard. Memang
ada beberapa paralel yang dapat diidentifikasi antara Administrative
Behavior dan The Functions of the Executive, termasuk pandangan
esensi mereka tentang otoritas organisasi dan hubungan antara ide Simon tentang
Zone of Acceptance dan Zone of Indifference dari Barnard. Namun ada juga perbedaan-perbedaan
mendasar diantara keduanya. Kalau Barnard sangat konsern terhadap kepemimpinan
moral, interest Simon yang utama adalah pada hal-hal yang empiris dan berasal
dari komitmen filosophisnya pada positivismelogis terutama yang
menyangkut konsepsi perbedaan antara fakta dan nilai. Demikian juga pandangan
mereka berdua berbeda mengenai models of man sebagaimana yang
diungkapkan oleh Perrow sebagai berikut :
Di dalam pandangan Barnard manusia
bersifat non rasional tetapi dia dapat mencapai rasionalitas melalui
organisasi. Models of man dari Simon adalah bahwa manusia bertujuan
rasional tetapi partisipasinya di dalam organisasi tidak menghasilkan dia
menjadi lebih rasional atau menjadi superior man atau manusia unggul,
demikian juga tidak menghasilkan apa yang disebutnya sebagai menambah
rasionalitas di dalam diri individu. Anggota-anggota organisasi diharapkan
dapat menyesuaikan keputusan-keputusan mereka dengan tujuan organisasi dan
mereka dilengkapi dengan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan
organisasi yang benar. Yang beruntung adalah organisasi dan bukan individu.
Simon dalam model pengambilan keputusan organisasi menaruh perhatian pada
organisasi sebagai suatu alat atau pada individu-individu sebagai alat dari
organisasi. Barnard tidak dapat mengakui kemungkinan ini karena organisasi
dalam pandangannya adalah sistem kerjasama dimana tujuan organisasi dan tujuan
individu harus selaras. Bagi Simon bukan demikian kasusnya, para individu
memuaskan kebutuhan mereka (misalnya soal gaji) melalui organisasi, namun
tujuan-tujuan pribadinya tidak selalu sama dengan tujuan organisasi. (Harmon
& Mayer, 1986 : 152).
Pandangan Simon tentang organisasi yang
bersifat instrumental dan bukan yang bersifat moral ditambah dengan asumsinya
tentang maksud individu yang bersifat rasional mewarnai konsepnya tentang
masalah administrasi. Dalam pandangan Simon yang bersifat positif logis, dia
melihat isu tentang nilai dan isu tentang fakta sebagai dua hal yang terpisah
secara rapi.
Asumsi tentang masalah administrasi yang
mempunyai karakter teknis yang berasal dari penerimaan Simon tentang dikotomi
fakta dan nilai bercampur secara rapi dengan analog dari Woodrow Wilson tentang
dikotomi administrasi dan politik. Secara persisnya dikhotomi yang pertama yang
berasal dari Simon menjadi dasar dari dikotomi yang kedua yang muncul dari
Wilson. Politik menyangkut alokasi yang bersifat otoritatif dari nilai,
sedangkan administrasi menurut Simon menyangkut putusan-putusan rasional dari
perhitungan fakta-fakta.
Sejauh yang menyangkut perspektif yang ada
kaitannya dengan nilai adalah untuk menekankan nilai instrumental efisiensi
merupakan hal yang paling penting bagi organisasi dan teori-teori administrasi.
Karena itulah Simon menolak kepercayaan yang secara naif dan bertolak belakang
dengan bukti-bukti empiris bahwa efisiensi dapat dicapai melalui aplikasi dari
prinsip-prinsip organisasi klasik yang terkadang satu dengan lainnya saling bertentangan.
Herbert Simon maupun mereka yang
mengikutinya memang telah cukup menambah pemikiran-pemikiran administrasi
negara. Terutama yang menyangkut masalah nilai efisiensi dan pentingnya peranan
ilmu di dalam membimbing teori administrasi dan praktek administrasi. Namun
harus diingat tentang apa yang mereka tinggalkan atau apa yang mereka lupakan
yaitu mengenai ethos demokrasi yang selalu memberikan informasi tentang
filsafat dasar dari administrasi negara. Jangan sampai kita terperangkap pada
pandangan Neo Klasik tentang teori organisasi sebagai suatu pandangan yang
solid karena apabila kita meninggalkan teori demokrasi dan teori-teori politik
pada umumnya maka administrasi negara hanyalah mendapatkan kedudukan yang
bersifat marginal (Harmon dan Mayer, 1986 : 119-155).
II. PEMBAHASAN
1. BIROKRASI MAX WEBER
1.1. Konsep Birokrasi
Fenomena birokrasi telah mendominasi
pembicaraan mengenai organisasi, administrasi (termasuk administrasi publik),
dan manajemen selama lebih dari satu abad. Barangkali tidak ada konsep yang
begitu banyak didiskusikan, dianalisis, dievaluasi, dipuja maupun dicerca oleh
pelbagai kalangan mulai dari para pakar, cendekiawan, politisi bahkan oleh
orang-orang awam sekalipun selain konsep birokrasi. Padahal ketika Weber muncul
pertama kali dengan type ideal birokrasi-nya
sama sekali tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa inilah bentuk organisasi
yang paling tepat untuk semua kegiatan bersama manusia. Namun kita menyaksikan
bahwa birokrasi telah menjadi paradigma yang dominan dalam studi tentang
organisasi, administrasi dan manajemen. Meskipun banyak ahli telah meramalkan
bahwa birokrasi akan lenyap perlahan-lahan dan diganti oleh bentuk organisasi
lain yang lebih cocok dengan perkembangan masyarakat, sampai saat ini kita
melihat bahwa birokrasi masih kental dibicarakan, baik di lingkungan akademis
maupun dalam pembicaraan sehari-hari, dan masih akan ada bersama kita untuk
waktu yang masih cukup lama. Malahan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
birokrasi itu muncul konsep-konsep untuk merevitalisasi birokrasi agar dapat
lebih adaptif dengan perkembangan masyarakat (Osborne dan Gaebler, 1997).
Birokrasi memiliki liputan yang luas.
Birokrasi dapat berlaku di lingkungan pemerintahan dan dapat juga berlaku bagi
swasta. Birokrasi sering didefinisikan sebagai unit administrasi atau kantor
niaga. Istillah birokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Ralph P Hummel (1982 :2)
dipergunakan untuk semua organisasi modern, baik publik atau privat termasuk
didalamnya bisnis dan perusahaan industrial yang kedudukannya bersama-sama
dengan lembaga pemerintah menjalankan pelayanan publik sesuai dengan
prinsip-prinsip rasional dan modernisasi. Yahya Muhaimin mengartikan birokrasi
sebagai keseluruhan aparat pemerintah sipil maupun militer yang melakukan tugas
membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
Sedang menurut Agus Dwiyanto (1998 : 10) birokrasi merupakan alat penunjang
utama di dalam administrasi modern. Dasar dari legitimasi birokrasi dalam
struktur pemerintahan ialah penerapan pengetahuan, rasionalitas dan teknologi.
Birokrasi menjadi satu-satunya perangkat yang lebih peka terhadap penerapan
manajemen yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula
sebagaimana dikemukakan oleh Ripley dan Franklin (1982 : 30) bahwa birokrasi
bukan bentuk organisasi yang hanya dimiliki oleh pemerintah. Perusahaan,
Universitas, lembaga-lembaga keagamaan, atau organisasi lainnya semuanya dapat
menciptakan dan menggunakan birokrasi untuk menjalankan missinya.
Birokrasi juga sering disebut sebagai
kekuasaan (kratos) pada meja (biro, bureau). Jadi, sebenarnya birokrasi berarti pertunjukan kekuasaan
(kewenangan) yang berlangsung melalui prosedur yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundangan. Dengan demikian karena adanya prosedur yang didukung
oleh peraturan perundangan, maka birokrasi menjamin terjadinya
pengulangan-pengulangan. Pengulangan-pengulangan ini sebetulnya dapat
menciptakan kelancaran. Akan tetapi dalam pelaksanaannya birokrasi justru
menciptakan kelambanan-kelambanan. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan sebagai cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta
menurut tata aturan (adat dsb) yang banyak lika-likunya.
Terlepas dari itu semua, kita menyadari
bahwa birokrasi pemerintah memiliki kekuatan besar yang tidak mungkin kita
hindari. Semua orang - suka atau tidak suka, senang atau tidak senang - dalam
hidupnya selalu akan mempunyai urusan dengan birokrasi pemerintah. Caiden
(1987) menyatakan bahwa birokrasi pemerintah sebagai sesuatu yang tidak dapat
dihindari (unavoidable). Mulai dari
saat kelahiran hingga wafat kita selalu akan mempunyai urusan dengan birokrasi.
Apalagi karena birokrasi pemerintah mempunyai alat pemaksa, dan karena itu
menuntut kepatuhan. Disamping itu birokrasi pemerintah memiliki prioritas yang
sering tidak sama dengan prioritas yang dirasakan masyarakat. Dan yang perlu
diingat pula adalah bahwa manajer-manajer puncak dari birokrasi pemerintah itu
adalah “political appointees”.
Seperti kita ketahui tulisan tentang
birokrasi Weber ini baru muncul di tahun 1921 ketika terbit buku “Wirtschaft und Gesselschaft”. Menurut
Martin Albrow, Weber tidak pernah menggunakan istilah “birokrasi” dalam
tulisannya itu. Istilah itu digunakan oleh Vincent de Gournay ketika
menguraikan sistem pemerintahan Prusia di tahun 1745 (Miftah Thoha, 1991).
Menurut Gourney dalam Setiyono (2004 : 10) birokrasi berasal dari kata bureau, yang berarti meja tulis dimana
para pejabat (saat itu) bekerja di belakangnya.
Dari para historis kita dapat memaklumi
bahwa pemerintahan Perancis (dan negara Eropa lainnya) pada saat itu dikenal
memiliki kinerja yang sangat buruk, serta mengeksploitasi rakyatnya secara
berlebihan. Para pejabat sebagai abdi raja, gemar mengadakan pesta mewah di
tengah kelaparan rakyat, memungut pajak yang sangat tinggi, mengeksploitasi
tenaga rakyat, kejam terhadap mereka yang kritis, serta gemar menjilat para
raja dan bangsawan. Gourney yang berkebangsaan Perancis saat itu mengemukakan
bahwa : “…..sangat dikeluhkan para pejabat, para juru tulis, para sekretaris,
para inspektur, dan para intendan
yang diangkat bukannya memberikan keuntungan pada kepentingan umum, melainkan
kepentingan umum itu justru terabaikan karena adanya pejabat…..” Untuk
menyindir kinerja pejabat yang buruk itu dipakailah istilah “bureumania” yang kemudian memunculkan
varian kata bureucratie (Perancis) burocratie (Jerman) burocrazia (Itali) dan bureaucracy
(Inggris). Istilah-istilah tersebut itulah yang kemudian dipakai untuk
menunjukkan pengertian akan suatu organ/institusi pelaksana kegiatan
pemerintahan dalam sebuah negara, sebagaimana didefinisikan oleh Hague bahwa
birokrasi adalah “organisasi yang terdiri dari aparat bergaji yang melaksanakan
detail tugas pemerintah, memberikan nasehat dan melaksanakan keputusan kebijakan”.
Konsep Birokrasi ini erat kaitannya dengan
pikiran Weber tentang legitimasi kekuasaan yaitu mengapa orang tunduk atau
patuh pada kekuasaan (macht). Weber
membedakan 3 macam otoritas yaitu :
a. Otoritas Tradisional
Yaitu otoritas yang bertumpu pada kepercayaan dan
rasa hormat pada tradisi dan orang-orang yang mengemban pelaksana tradisi itu.
Dalam otoritas jenis ini legitimasi dikaitkan dengan pola hubungan yang akrab
antara penguasa dengan anggota. Pimpinan diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui cara-cara tradisional. Kepatuhan didasarkan pada
penghormatan terhadap tatanan lama yang sudah mapan. Seseorang taat dan tunduk
pada orang lain karena mereka percaya bahwa tradisi memang mengharuskan mereka
berbuat demikian, tanpa perlu melakukan critical
analysis terhadap keadaannya itu. Dalam otoritas tradisional, sang pemimpin
mendapatkan hak-hak istimewa secara otomatis, dalam arti dia tidak membutuhkan
legalitas formal dari para pengikutnya. Pemimpin mendapatkan hak dan kedudukan
karena tradisi belaka (Setiyono, 2004 : 49). Misalnya otoritas yang dimiliki
pemimpin adat, pemimpin agama, maupun pemimpin sekte tertentu.
b. Otoritas Kharismatik
Yaitu otoritas yang bertumpu pada keyakinan
terhadap pengabdian, kepahlawanana, jasa dan kemampuan luar biasa dari
seseorang. Otoritas ini mengambil landasan kepatuhan kepada kharisma yang
dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga ia dihormati dan dikagumi oleh
pengikutnya. Seseorang taat dan patuh pada orang lain karena ia dipercaya
memiliki kelebihan-kelebihan khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain, atau
karena ia memiliki hasil karya dan aktifitas yang memberikan manfaat atau
pertolongan kepada orang lain. Ketaatan dalam otoritas ini biasanya bersifat
mutlak, dalam arti apapun yang dilakukan sang panutan/pemimpin akan selalu
dianggap benar oleh para pengikutnya (Setiyono, 2004: 50). Tokoh-tokoh seperti
Mahatma Ghandi, Martin Luther King Jr. adalah contoh pemimpin yang memiliki
karisma bagi pengikutnya.
c. Otoritas Legal-Rasional
Yaitu otoritas yang berdasarkan pada keyakinan
akan atat hukum yang diciptakan secara rasional dan juga pada kewenangan
seseorang yang melaksanakan tata hukum itu sesuai prosedur yang ditetapkan.
Seseorang taat pada orang lain, karena memang hukum menentukan demikian dan ia terkait
kepada ketentuan hukum itu. Oleh karenanya ketaatan dalam otoritas ini bersifat
impersonal (tidak berkenaan dengan pribadi). Siapa saja dapat ditaati dan
menjadi pemimpin sepanjang memenuhi standar prosedur hukum yang menyebabkan dia
memiliki hak secara syah untukmemerintah orang lain (Setiyono, 2004 : 50).
Dalam otoritas ini maka kepatuhan didasarkan pada aturan-aturan yang bersifat
impersonal yang ditetapkan secara legal/rasional oleh mereka yang diberi
kewenangan untuk itu. Dan otoritas legal rasional inilah yang mendasari
birokrasi. Organisasi harus diatur secara rasional, impersonal dan bebas dari
prasangka. Dalam type idealnya birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang
efisien, efektif dan mampu meningkatkan produktifitas. Jadi setiap organisasi
besar yang mengelola kepentingan orang banyak pasti mengandung kadar tertentu
dari tipe idealnya Max Weber.
1.2. Tipe Ideal Birokrasi Weber
Memang tidak dapat disangkal bahwa secara
umum birokrasi identik dengan organisasi pemerintah yang terdiri dari
pejabat–pejabat dalam hubungan yang sangat hierarkies, dimana hubungan tersebut
mencerminkan adanya pembagian tugas yang terperinci, jelas dan disertai dengan
sikap impersonal. Secara ringkas karakteristik utama birokrasi ideal dari Weber
ini adalah sebagai berikut :
·
Aturan-aturan dan prosedur formal : Adanya pengaturan fungsi-fungsi resmi
yang saling terikat oleh aturan yang menjadikan fungsi-fungsi resmi itu satu
kesatuan yang utuh. Peraturan dan prosedur operasi yang baku menyebabkan
kegiatan organisasi dapat dilaksanakan secara rutin dan pasti.
·
Spesialisasi Pekerjaan : Adanya pembagian kerja yang jelas di
dalam organisasi, sehingga setiap anggota organisasi mempunyai tugas yang jelas
dan juga mempunyai wewenang yang seimbang dengan tugas yang harus dijalankannya
·
Kejelasan hierarki : Adanya pengorganisasian yang mengikuti
prinsip hierarki, yaitu tingkatan yang lebih rendah diawasi oleh tingkatan yang
lebih tinggi, sehingga tersusun suatu hierarki otoritas yang runtut mulai dari
tingkatan yang tertinggi sampai tingkatan yang terendah. Susunan
hierarki otoritas ini disebut juga dengan rangkaian perintah (chain of command)
·
Pengembangan karier berdasarkan merit
system: Adanya sistem
penerimaan dan penempatan karyawan (anggota organisasi) yang didasarkan kemampuan
teknis, tanpa memperhatikan samasekali koneksi, hubungan keluarga maupun
favoritisme.
·
Impersonality : Adanya pemisahan antara pemilikan alat produksi
maupun adminsitrasi dari kepemimpinan organisasi. Dan pemisahan ini akan
membuat organisasi tetap bersifat impersonal, yang dianggap penting untuk
mencapai efisiensi.
·
Adanya
obyektifitas dalam melaksanakan
tugas yang berkaitan dengan suatu jabatan dalam organisasi. Pemegang suatu
jabatan haruslah melakukan kegiatan secara obyektif sesuai dengan tugas yang
harus dijalankannya, dan tidak menggunakan jabatannya untuk melayani
kepentingan dirinya pribadi.
·
Kegiatan administratif, keputusan-keputusan dan
peraturan-peraturan dalam organisasi selalu dituangkan dalam bentuk tertulis.
Birokrasi tipe ideal dibangun di atas
landansan pengetahuan dan kemampuan serta rasionalitas di dalam pengambilan
keputusan. Selanjutnya Blau dan Meyer mengemukakan ciri-ciri pokok struktur
birokrasi yang ideal dari Weber adalah sebagaimana berikut :
·
Terdapat
pembagian tugas berdasarkan spesialisasi tertentu
·
Pengorganisasian
kantor mengikuti primsip hierarki dan ada prinsip delegasi wewenang
·
Pelaksanaan
tugas diatur oleh suatu sistem peraturan yang abstrak dan konsisten
·
Seorang
pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya....(dengan)....sine ira et studio (formal dan tidak
bersifat pribadi), tanpa perasaan-perasaan dendam atau nafsu dan oleh karena
itu tanpa perasaan kasih sayang atau antusiasme.
·
Sifat pekerjaan berdasarkan kualifikasi teknis
·
Ada
jenjang karier
·
Bertujuan
memaksimalkan efisiensi dalam organisasi.
Menurut
Mintzberg dalam Purwanto (2001 :23) beberapa hal lain yang berkaitan dengan
tipe ideal ini adalah :
·
Adanya standarisasi proses kerja
·
Ukuran-ukuran
design utamanya adalah formalisasi perilaku, spesialisasi kerja vertikal dan
horisontal, umumnya pengelompokan berdasarkan fungsi (biro), memiliki unit
operasi yang besar, sentralisasi vertikal, perencanaan terpusat.
·
Birokrasi
ideal cocok dalam situasi lingkungan yang tenang dan stabil, struktur dan
kebutuhan masyarakat masih sederhana.
Sebagai
tipe ideal, bentuk birokrasi dari Weber memang menjanjikan keunggulan dalam
mencapai efisiensi dan efektifitas organisasi. Dengan birokrasi idealnya
posisi-posisi tertentu akan diisi melalui proses seleksi yang didasarkan pada
keahlian. Subyektifitas dalam penempatan pegawai digantikan oleh obyektifitas.
Pemisahan manajemen dengan pemilik telah menghasilkan suatu mekanisme rekrutmen
para profesional. Pemisahan ini akan dapat menciptakan kondisi yang kondusif
bagi para profesional untuk mengambil keputusan yang rasional. Rasionalitas
pengambilan keputusan, menurut Weber akan mempertinggi efisiensi.
Perlu diingat bahwa dalam kenyataannya
bentuk ideal birokrasi ini sulit untuk ditemukan. Bahkan Weber tidak bermaksud
bahwa idenya ini harus dipakai untuk mengelola organisasi. Tujuan pengembangan
konsepnya adalah ‘sebagai titik awal
dalam memahami organisasi’. Meskipun ia yakin bahwa birokrasi yang rasional
dan impersonal ini akan semakin penting karena secara inherent memiliki seperangkat ciri yaitu ketepatan, kesinambungan,
disiplin, keajegan, handal yang menjadikannya secara teknis merupakan bentuk
organisasi yang paling memuaskan baik bagi para pemegang otoritas maupun bagi
semua keleompok kepentingan yang lain. Karena itu ia menyatakan bahwa birokrasi
merupakan proses yang tidak dapat dihindari.
Bentuk organisasi birokrasi seperti
disebutkan di atas menghasilkan beberapa konsekwensi baik yang diantisipasi
maupun yang tidak diantisipasi. Yang diantisipasi antara lain adalah efisiensi
dan kesamaan. Sedangkan konsekuensi yang tidak diantisipasi antara lain adalah
: keterasingan pekerja, apatis, red tape,
rigiditas, kesenjangan koordinasi, ketidak-efisienan, bekerja untuk aturan
dan resistensi perubahan (Khandwalla, 1987).
1.3. Kesan Terhadap Birokrasi
Agaknya masyarakat sudah mempunyai kesan tersendiri terhadap birokrasi.
Masyarakat sudah terkondisi mempersepsikan birokrasi sebagai sesuatu yang
negatif yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Birokrasi identik dengan peraturan
yang berbelit-belit, lamban, mempersulit, tidak efisien, tidak adaptif,
memperhatikan dirinya sendiri dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan sinis seperti :
“Kalau dapat dipersulit kenapa harus dipermudah ?, Kalau dapat diperlambat
kenapa harus dipercepat ?, Kalau dapat memperdayakan, kenapa harus
memberdayakan ?”. Bagi para pelaku ekonomi, birokrasi adalah pola kerja aparat
pemerintahan yang tidak profesional yang sering berarti biaya tambahan yang mau
tidak mau harus dibebankan pada konsumen. Bagi masyarakat awam, birokrasi adalah
penguasa yang sangat menentukan nasib mereka yang hanya berstatus rakyat.
Birokrasi adalah penggusuran, pungli, kolusi, korupsi dan berbagai konotasi
menyakitkan lainnya. Akibatnya birokrasi dipandang sebagai sosok yang selalu
tampil dengan wajah seram, yang membuat hidup tidak tentram. (Miftah Thoha,
1995)
Padahal kesan demikian tidak perlu
terjadi, karena pada dasarnya tujuan utama birokrasi adalah menghasilkan
sesuatu yang memiliki nilai secara cepat, tepat dan dengan biaya yang masuk
akal. Dengan demikian birokrasi sebenarnya berusaha mewujudkan efisiensi dan
bukan sebaliknya. Juga birokrasi tidak bermaksud menyusahkan orang dan membuat
mereka tidak dapat tidur dengan nyenyak. Unsur-unsur utama birokrasi mengacu
pada upaya rasional dan legal untuk mengelola organisasi secara efisien dan
efektif, memperlakukan semua orang secara sama (equity), pengisian jabatan atas dasar keahlian dan pengalaman (merit system), larangan menyalahgunakan
jabatan, standar kerja yang jelas, sistem administrasi yang teratur rapi, serta
pengadaan dan pelaksanaan aturan bagi kepentingan organisasi yang mengikat
semua anggotanya. Birokrasi, antara lain sangat mengharamkan adanya praktek
partikularisme (apakah atas dasar nepotisme atau primordialisme) dalam
kepegawaian atau dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Miftah Thoha,
1995). Pemberian lisensi atau perjinan usaha misalnya harus jelas persyaratan,
prosedur, biaya, waktu penyelesaian dan bersikap terbuka sehingga pihak yang
berkepentingan dapat menyelesaikan urusannya tanpa menghabiskan waktu dan biaya
yang tidak perlu.
Charles Perrow menyatakan bahwa hal-hal
yang ideal ini dalam kenyataannya sulit dilaksanakan karena :
1. Ketidakmampuan birokrasi untuk memilih
mana kepentingan pribadi/golongan dan kepentingan organisasi. Birokrasi
berusaha melakukan sesuatu yang sangat sulit dilakukan yaitu meniadakan semua
pengaruh luar organisasi terhadap perilaku anggotanya. Idealnya, para anggota
birokrasi bertindak semata-mata demi kepentingan organisasi. Masalahnya adalah
sekalipun kepentingan organisasi sangat jelas, transparan, dan diketahui semua
pihak, orang tidak hanya hidup bagi kepentingan organisasi. Orang bergabung
dengan organisasi bukannya tanpa kepentingan diri atau pribadi, belum lagi
kepentingan kelompok, golongan ataupun mitra lainnya yang juga perlu
diakomodasikan. Masalah netralitas birokrasi ini bukanlah hal yang mudah untuk
diatasi. Kepentingan-kepentingan eksternal ini adakalanya sejalan dengan
kepentingan organisasi, tapi sering pula sangat bertentangan. Apalagi kalau
kesejahteraan para birokrat tersebut masih sangat minim dan tidak ada atau
kurangnya etika dan landasan moral serta pengawasan yang memadai.
2. Ketidakluwesan birokrat untuk beradaptasi
dengan perubahan lingkungan yang berlangsung cepat dan terus menerus. Kelahiran
birokrasi adalah untuk menangani tugas-tugas rutin dan relatif stabil. Tanpa
ini bagaimana adanya pembagian kerja, hierarki, perencanaan, koordinasi formal,
deskripsi kerja yang mendetail, aturan dan prosedur formal dsb. Padahal setiap
perubahan, apalagi perubahan itu berlangsung cepat dan terus menerus, dan
kadang-kadang sangat mendasar, maka perlu adaptasi dan sikap antisipasi.
Birokrasi ideal tidak didesain untuk menghadapi hal-hal seperti itu, kriteria
efisiensi sebagai ciri hasnya sulit menghadapi perobahan-perobahan yang cepat
itu.
Lingkungan birokrasi yang berubah cepat
dan terus menerus itu menuntut birokrasi untuk meningkatkan pelayanan yang
lebih baik bagi masyarakat. Masyarakat sekarang menuntut pelayanan yang
sederhana, adanya kejelasan dan kepastian, keamanan dan kenyamanan,
keterbukaan, efisien dan ekonomis, keadilan dan ketepatan waktu. Ini
mengakibatkan kinerja birokrasi pemerintah harus terus menerus memperbaiki
dirinya. Bila tidak dapat meningkatkan performance-nya,
masyarakat akan kecewa dan bila tersedia alternatif pelayanan lain maka dapat
dipastikan masyarakat akan mengambil alternatif tersebut.
Seperti telah diuraikan di atas, kelahiran
birokrasi adalah untuk menangani kepentingan-kepentingan besar masyarakat yang
memerlukan tingkat produktifitas, efisiensi dan efektifitas yang tinggi.
Keunggulan teknis yang dimiliki birokrasi diharapkan mampu mengakomodasi
pelbagai kepentingan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Namun
sebagaimana yang diingatkan oleh Miftah Thoha, organisasi yang
mengkonsentrasikan sumber daya itu di tangan sedikit orang yang cenderung
menggunakan bagi kepentingan yang tidak kita setujui, atau yang mungkin tidak
kita ketahui, atau yang paling mengerikan bagi kepentingan yang terpaksa kita
setujui karena kita tidak memiliki posisi untuk melihat adanya alternatif lain.
Yang paling menghawatirkan adalah adanya kecenderungan untuk menggunakan
birokrasi sebagai sarana untuk memusatkan kekuasaan (power) dan mengabsahkan atau menyamarkan pemusatan itu. Birokrasi pada
dasarnya dapat dipandang sebagai sarana sosial untuk mengabsahkan pengendalian
banyak orang oleh sedikit orang. Pengendalian ini pada gilirannya melahirkan
kekuasaan sosial yang lebih dari sekedar mengendalikan pegawai, birokrasi juga
membentuk persepsi kita tentang diri kita sendiri, mengendalikan peluang dalam
kehidupan kita, dan bahkan dapat sangat menentukan harkat dan martabat kita
sebagai manusia.
Kesan-kesan yang kurang menguntungkan
tentang perilaku birokrasi tadi memang ada, namun ada juga banyak kesan yang
menunjukkan bahwa birokrasi kita tidak sejelek yang digambarkan orang. Masih
banyak birokrat kita yang bekerja secara efisien dan penuh pengabdian. Masih
banyak mereka yang terpanggil untuk mengabdi pada masyarakat meskipun dalam
kondisi yang kurang menguntungkan. Betapa banyak guru yang mengabdikan hidup
mereka mendidik anak bangsa di tempat-tempat yang sangat terpencil dengan
fasilitas minim, dengan gaji yang penerimaannya sering terlambat dan dengan
potongan-potongan yang terpaksa mereka terima. Begitu pula berbagai gebrakan
yang dilakukan oleh aparat pemerintah dalam hal penerimaan pegawai baru agar
rekrutmen tersebut bersih dari segala macam uang pelicin atau surat sakti.
2 . KONSEP MANAJEMEN DALAM ADMINISTRASI PUBLIK
2.1. Scientific Management dari
Taylor
Kita maklumi bahwa tidak sedikit
teori-teori yang dikembangkan dalam ilmu administrasi publik berasal dan
diambil dari teori-teori yang awalnya dari ilmu manajemen, salah satu
diantaranya adalah teori yang dikembangkan oleh Frederick W. Taylor. Ia lahir
tahun 1856. Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, kemudian ia melanjutkan
kuliah, namun beberapa saat kemudian berhenti dari kuliahnya dan mulai bekerja
secara magang sebagai pembuat pola dan masinis dalam tahun 1875, bergabung dengan
Midvale Steels Works di Philadelphia sebagai masinis dalam tahun 1878, dan
meningkat menjadi kepala teknik setelah menyelesaikan kuliahnya dan mendapat
ijazah teknik. Dia menemukan alat-alat pemotong baja yang bekerja dengan
kecepatan tinggi dan menghabiskan sebagian besar dari hidupnya sebagai insinyur
konsultan.
Taylor pada umumnya diakui sebagai “bapak
manajemen ilmiah”. Barangkali tidak ada orang lain yang mempunyai pengaruh
lebih kuat atas perkembangan manajemen pada saat itu. Pengalamannya sebagai
seorang magang, buruh biasa, mandor, pemimpin mekanik, dan kemudian insinyur
kepala dari perusahaan baja, memberikan kepada Taylor, cukup kesempatan untuk
mengetahui dari tangan pertama masalah-masalah dan sikap-sikap para pekerja dan
untuk melihat kesempatan-kesempatan besar agar mutu manajemen ditingkatkan
(Koontz, 1980 : 44).
Penemuan yang orisinil berupa alat-alat
pemotong baja yang bekerja dengan kecepatan tinggi dan penemuan-penemuan yang
lain serta pekerjaannya yang tedahulu sebagai konsultan insinyur, membuat dia
begitu kaya sehingga dia berhenti bekerja dengan menerima upah dalam tahun
1901, pada usia 45 tahun. Kemudian dihabiskannya sisa hidupnya yang masih 14
tahun itu sebagai konsultan dan dosen tidak dibayar untuk mengembangkan
ide-idenya tentang manajemen ilmiah. Pada tahun 1911 ia meluncurkan
sebuah buku yang berjudul Principles of Scientific Mangement. Karya Taylor ini merupakan awal munculnya
teori dalam bidang organisasi dan manajemen. Ketika dia menemukan metode dan
suasana kerja yang buruk, ia ingin mencari solusi dengan mengembangkan suatu
cara terbaik untuk metode kerja yang baru, menciptakan standar kerja, menemukan
orang yang tepat untuk suatu jenis pekerjaan tertentu melalui proses seleksi
dan menyediakan peralatan dan perlengkapan kerja yang terbaik bagi pekerja.
Dengan metodenya ini, Taylor mengharapkan bahwa pekerja dan organisasi akan
sama-sama memperoleh keuntungan. (Purwanto, 2001: 25)
Taylor juga mengembangkan peralatan dan
teknik khusus untuk mencapai efisiensi, mengembangkan sistem pembayaran per
satuan dan menciptakan struktur organisasi fungsional. Disamping itu Taylor
juga menyarankan agar para manajer melakukan perubahan cara berpikir dengan
cara mengapplikasikan ilmu dalam praktek-praktek manajemen.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh FW.
Taylor dalam memperbaiki manajemen organisasi adalah sebagai berikut :
1.
Menggantikan
cara yang asal-asalan dengan ilmu pengetahuan yang tersusun
2.
Mengusahakan
kerukunan dalam gerakan kelompok dan bukannya ketidakrukunan
3.
Mencapai
kerjasama manusia dan bukannya individualisme yang kacau
4.
Bekerja
untuk output yang maksimum dan bukannya output yang terbatas
5.
Memperkembangkan
semua pekerja sampai taraf yang setinggi-tingginya untuk kesejahteraan maksimum
mereka sendiri dan perusahaan mereka
2.2. Prinsip-prinsip Umum
Administrasi dari Henry Fayol
Sementara Taylor melakukan kajian
manajemen ilmiahnya di Amerika Serikat, Henry Fayol - sebagai seorang manajer
sebuah perusahaan - kurang lebih melakukan hal yang sama di negaranya,
Perancis. Kalau Taylor meneliti dan mengembangkan teori dan praktek-praktek
manajemen pada level manajemen terendah yaitu pekerja, sementara Fayol berusaha
menuliskannya sebagai manajer. Fayol berusaha menjelaskan prinsip-prinsip umum
yang dapat diterapkan pada semua level administrasi dan berusaha menjelaskan
fungsi-fungsi yang harus dilakukan oleh seorang manajer (Purwanto, 2001 : 26).
Observasinya yang cermat ditulisnya pada tahun 1916 dalam bahasa Perancis
dengan judul Administration Industrielle
en Generale (Administrasi Industri Pada Umumnya).
Fayol menulis seperti orang pratek di
bidang usaha dengan mencerminkan riwayat kerjanya yang panjang dalam bidang
manajemen dan menuliskan prinsip-prinsip yang telah diamatinya. Dalam melakukan
pekerjaan itu, dia tidak berusaha menghasilkan suatu teori logis atau suatu
filsafat yang serba lengkap mengenai manajemen. Tetapi pengamatannya cocok
sekali secara mengherankan dengan wadah teori manajemen yang sekarang ini
sedang berlangsung (Koontz, 1986 : 51)
Fayol menemukan bahwa aktifitas sebuah
perusahaan industri bisa dibagi kedalam 6 bagian :
- teknis (produksi),
- dagang (beli, jual, pertukaran)
- keuangan (pencarian, penggunaan yang terbaik, modal)
- keamanan (perlindungan bagi milik dan orang-orang)
- akuntansi (termasuk statistik)
- manajerial (perencanaan, organisasi, pimpinan, kerjasama dan pengawasan)
Dengan menunjukkan bahwa
aktifitas-aktifitas ini ada dalam perusahaan segala ukuran, Fayol mengatakan
bahwa kelima hal yang pertama itu sudah dikenal serta sudah banyak dibahas oleh
para ahli yang lain dan dengan sendirinya dia menyediakan sebagian besar
bukunya untuk membahas bagian yang ke enam.
Dari studi yang telah dilakukannya, Fayol
yang juga merupakan seorang pendiri dari Center for Administrative Studies
di Paris menjelaskan 14 prinsip manajemen sebagai berikut :
- Division of labor (pembagian kerja). Makin menjadi spesialis seseorang, makin efisienlah ia dalam melaksanakan pekerjaannya. Prinsip ini sekarang diterapkan pada bagian perakitan.
- Authority (kewenangan). Manajer harus memberikan perintah agar orang lain dapat bekerja. Sementara wewenang formalnya memberikan hak untuk memerintah, manajer tidak akan selalu mendapat kepatuhan dari bawahannya kalau dia tidak juga mempunyai wewenang pribadi (misalnya keahlian yang relevan).
- Discipline (disiplin). Anggota organisasi harus menghormati aturan dan kesepakatan yang mengatur organisasi itu. Menurut Fayol, disiplin merupakan hasil kepemimpinan yang baik disemua tingkatan dalam organisasi, kesepakatan yang adil (misalnya diadakannya aturan untuk memberikan penghargaan pada prestasi yang baik), dan dengan bijaksana menghukum yang melanggar.
- Unity of command (kesatuan komando). Setiap karyawan harus menerima instruksi-instruksi tentang kegiatan tertentu dari satu orang saja. Fayol berpendapat bahwa kalau seorang karyawan bertanggung jawab kepada beberapa atasan, yang akan terjadi adalah perintah yang bertentangan dan wewenang yang membingungkan.
- Unity of management (kesatuan arah manajemen). Kegiatan-kegiatan dalam organisasi yang mempunyai tujuan yang sama seyogyanya diarahkan oleh satu orang manajer dengan menggunakan satu saja perencanaan. Sebagai contoh, bagian personalia dalam sebuah perusahaan sebaiknya tidak memiliki dua orang kepala bagian, masing-masing dengan kebijakan yang berbeda.
- Subordination of individual interests to the common good (menomorduakan kepentingan perorangan atau individu dari kepentingan umum atau kepentingan bersama). Atau dapat juga dikatakan mengemukakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum. Dalam tiap perusahaan, kepentingan karyawan tidak boleh diutamakan melebihi kepentingan organisasi sebagai keseluruhan.
- Remuneration (penggajian atau pemberian upah). Balas jasa atas kerja harus adil baik untuk karyawan maupun untuk perusahaan.
- Centralization (sentralisasi). Mengurangi peran bawahan dalam pengambilan keputusan adalah pemusatan atau sentralisasi, menambah peran berarti desentralisasi. Fayol percaya bahwa para manajer harus menanggung tanggungjawab terakhir, tetapi perlu juga memberikan kepada bawahannya wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Masalahnya adalah menentukan tingkat sentralisasi yang terbaik.
- The Hierarchy (jenjang kedudukan). Garis wewenang dalam suatu organisasi [sekarang sering digambarkan dengan kotak-kotak dan garis-garis yang rapih dalam suatu daftar (bagan) organisasi] menunjukkan kedudukan manajer dari puncak sampai ke tingkat bawah.
- Order (tata tertib). Bahan-bahan dan manusia harus di tempat dan pada waktu yang tepat. Terutama manusianya harus pada pekerjaan yang cocok baginya.
- Equity (keadilan/kesamaan). Para manajer harus bersahabat dan adil terhadap semua bawahannya.
- Stability of staff (kestabilan dari staf, stabilitas masa jabatan). Perputaran karyawan yang terlalu tinggi tidak baik untuk kelancaran kegiatan perusahaan.
- Initiative (inisiatip atau prakarsa). Bawahan harus diberi kebebasan untuk membuat dan menjalankan rencananya sendiri, walaupun bias saja terjadi kesalahan.
- Esprit de Corps (semangat korps). Menggalakkan semangat kelompok menimbulkan rasa bersatu. Menurut Fayol, faktor sekecil apapun dapat membantu mengembangkan semangat. Sebagai contoh, ia menyarankan agar digunakan komunikasi lisan daripada tertulis atau formal sepanjang hal itu memungkinkan. (Stoner: hal 56-57).
Dapat dipertanyakan apakah maksud utama
mengembangkan semua prinsip-prinsip tersebut? Herbert Simon mungkin akan
berargumentasi bahwa, sebagaimana peribahasa biasanya didapatkan dua prinsip
yang saling bertentangan untuk suatu situasi tertentu. Simon selanjutnya
mengatakan bahwa prinsip-prinsip demikian bersifat tidak jelas dan ambigius dan
mengandung definisi yang kabur. Sebagai prinsip-prinsip ilmiah ia menyatakan
bahwa prinsip-prinsip ini sangat tidak berguna.
Barangkali kritikan-kritikan yang muncul
sekarang sangat relevan karena sumbangan-sumbangan yang terdapat dalam buku
yang diedit oleh Gulick dan Urwick selalu menggunakan istilah “scientific”
atau ilmiah untuk menggambarkan pendekatan mereka pada administrasi. Namun
perlu diingat bahwa orientasi prinsip-prinsip adminiatrasi seperti yang
disebutkan diatas lebih mengarah pada tindakan-tindakan administrasi dan
bukannya pada penelitian seperti yang dikemukakan oleh Henri Fayol bahwa maksud
utamanya adalah untuk “administrative actions”.
Kumpulan makalah ini diedit oleh Luther
Gulick dan Lyndall Urwick di tahun 1937. Koleksi sebelas makalah ini
merefleksikan pemikiran-pemikiran yang dominan tentang organisasi di Eropa dan
Amerika Serikat sebelum Perang Dunia ke II. Tulisan-tulisan mereka dapat dibagi
dalam dua kelompok. Pertama, Gulick, Urwick, Mooney, dan Henri Fayol yang
berkonsentrasi pada aspek struktur organisasi; sedangkan yang kedua, dengan
penulis-penulis L.J. Henderson, T.N. Whitehead and Elton Mayo, Mary Parker
Follett, dan V.A. Graicunas, yang menekankan elemen-elemen sosial dan
lingkungan yang mempengaruhi organisasi. Pandangan kedua ini masih bertahan
bahkan sampai pada masa kini. Sebenarnya pandangan yang menekankan pada konteks
sosial tumbuh dan berkembang terutama karena dampak dari karya-karya
pelopor-pelopor hubungan manusia terutama yang berkaitan dengan Hawthorne Experiments.
POSDCORB
Sebagai Filosofi Organisasi
Salah satu makalah yang paling
dominan adalah yang ditulis oleh Luther Gulick yaitu “Notes on the Theory of
Organization”. Dalam makalah
tersebut, Gullick menjelaskan apa yang disebut sebagai “principle
of homogeneity” (prinsip homogenitas). Menurut prinsip ini setiap orang
dapat membuat karakteristik fungsional terhadap setiap pekerja melalui tujuan
utama yang dilayani, oleh proses yang digunakan, oleh orang atau benda yang
dipakai atau tempat geografis dimana ia bekerja. Disini ia menggambarkan kegiatan-kegiatan utama
dari para eksekutif yang terdiri dari :
- Planning : yaitu melakukan secara garis besar hal-hal yang harus dilaksanakan dan cara-cara melakukan untuk mencapai tujuan organisasi.
- Organizing : yaitu menciptakan struktur formal kewenangan melalui mana kerja diatur, didefinisikan dan dikoordinasi untuk mencapai suatu tujuan.
- Staffing : yaitu bagaimana merekrut karyawan dan melatih mereka serta mempertahankan kondisi kerja yang menyenangkan.
- Directing : yaitu tugas yang terus menerus dalam membuat keputusan dan mengatur mereka secara spesifik serta urutan-urutan secara umum dan instruksi-instruksi serta melayani sebagai pemimpin dalam organisasi.
- Coordinating : yaitu mengkaitkan semua tugas-tugas penting dalam organisasi dari pelbagai kegiatan kerja.
- Reporting : yaitu kegiatan untuk melaporkan kepada atasan yang bertanggung jawab tentang apa yang menjadi tanggung jawab bawahan.
- Budgeting : yaitu segala sesuatu yang menyangkut penganggaran dalam bentuk perencanaan pajak, akuntansi, dan pengawasan.
Publikasi utama dari kelompok Neo Klasik
adalah tulisan Herbert Simon, “Administrative Behaviour” yang terbit
tahun 1947. Buku ini mempunyai dampak yang luas di dalam pemikiran teori
organisasi dan melampaui batas-batas Neo Klasik, karena meskipun punya
argumentasi tentang pentingnya instrumental rasionality tetapi buku ini juga menjelaskan
tentang keterbatasan dari rasionalitas di dalam setting organisasi.
Tokoh
lain yaitu kelompok Carneigie
Mellon School
termasuk James G March dan RM. Cyert.
Tulisan Herbert Simon, “Administrative Behaviour” paling baik
mengilustrasikan perspektif dari pengambilan keputusan karena mengemukakan
elemen kunci bagaimana teori ini melihat organisasi dan peranannya di dalam
sektor-sektor publik.
Tulisan-tulisan dari teori Neo Klasik ini
sebetulnya merupakan reaksi terhadap tulisan-tulisan sebelum Perang Dunia ke II
terutama yang menyangkut adanya prinsip-prinsip administrasi yang bersifat
universal, seperti dari Henry Fayol, Luther Gulick dan Lyndal Urwick yaitu Papers
on the Science of Administration. Misalnya komentar Herbert Simon tentang
prinsip-prinsip administrasi dari Fayol dimana dia mengatakan bahwa dapat
ditemukan dua prinsip kontradiktif yang cocok untuk suatu situasi tertentu.
Menurut Simon prinsip-prinsip tersebut tidak jelas, ambigius dan tidak
terdefinisi secara baik. Sebagai suatu prinsip ilmiah prinsip-prinsip tersebut
tidak berguna. Di dalam Administrative Behaviour terdapat tiga tema
central :
1) Keputusan adalah kegiatan sentral dari
organisasi.
2)
Instrumental reason atau alasan-alasan
instrumental adalah bersifat sentral di dalam perbuatan keputusan administratif
dan pemahaman organisasi.
3) Konsep satisficing atau memuaskan
yang merupakan pembatalan yang signifikan terhadap rasionalitas dan dampaknya
terhadap perilaku organisasi merupakan kondisi utama di dalam pembuatan
keputusan.
Pada halaman awal dari Administrative
Behaviour, Simon mengatakan bahwa meskipun setiap kegiatan praktis mencakup
deciding (memutuskan) dan doing (melaksanakan), hal tersebut
tidak biasa diakui di dalam teori administrasi ; dan bahwa teori administrasi
harus konsern dengan proses keputusan, demikian juga dengan proses dari
tindakan. Harus lebih banyak perhatian diberikan pada “memutuskan apa yang akan
dilakukan” dan “tidak semata-mata pada apa yang sesungguhnya dilaksanakan”.
Mengenai kritik terhadap
administrasi yang bersifat universal Simon mengatakan bahwa prinsip-prinsip itu
dapat diumpamakan sebagai peribahasa (proverb). Karena prinsip-prinsip
itu tidak menyediakan bimbingan atau petunjuk bagaimana prinsip-prinsip itu
akan diterapkan atau akan diimplementasikan. Hal ini disebabkan karena tidak
adanya definisi yang cukup maupun terminologi-terminologi yang spesifik di
dalam prinsip-prinsip itu. Prinsip-prinsip administrasi itu menyediakan satu
kumpulan pilihan dalam satu situasi, tetapi tidak jelas tentang ”apa yang
seharusnya menjadi dasar untuk pilihan-pilihan itu”. Bagi Simon teori
administrasi konsern dengan bagaimana suatu organisasi harus di construct
atau harus dikonstruksikan dan dioperasikan untuk mencapai tujuannya secara
efisien. Jadi disini ada karakter rasionalnya yaitu mencakup pemilihan satu
alternatif dari beberapa alternatif yang mengacu kearah pencapaian
tujuan-tujuan organisasi. Kunci, baik bagi model administrasi dan model manusia
ekonomi adalah karakter-karakternya yang rasional. Jadi ide tentang pemilihan
di antara alternatif-alternatif yang tersedia adalah pendekatan Simon yang
sentral pada pengambilan keputusan sebagai kunci untuk memahami perilaku
organisasi.
Meskipun Simon menerima secara
umum prinsip-prinsip instrumental
rasionality, ia tidak sepenuhnya menerima seluruh asumsi-asumsi yang
berkaitan dengan pandangan tersebut. Misalnya asumsi penting di dalam ilmu
ekonomi bahwa orang rasional melihat atau mendasarkan tindakan-tindakannya pada
informasi yang lengkap dan sempurna. Disini Simon berbeda karena dia melihat
informasi yang tersedia dan faktor-faktor psikologis manusia sebagai
batasan-batasan yang signifikan dalam kemampuan untuk membuat
keputusan-keputusan yang benar. Berdasarkan hal-hal tersebut Simon mengajukan
konsep pengambilan keputusan yang bersifat satisficing, sehingga pandangan
Simon ini dapat dilihat dari tiga aspek :
- Keputusan adalah dasar dari teori administrasi
- Konsep Instrumental rationality
- Konsep Satisficing.
ad.1.
Keputusan sebagai dasar dari teori administrasi
Simon memindahkan
fokus studi administrasi dari action pada analysis. Dengan
memulai dari asumsi yang implisit bahwa pilihan didasarkan pada analisis untuk
menentukan kegiatan-kegiatan berikutnya. Pilihan disini adalah sinonim dengan
membuat suatu keputusan yang itu berarti sebuah kesimpulan yang diambil dari
sejumlah premis-premis tertentu. Apakah itu value (nilai) ataukah fact
(fakta). Dalam pengertian Simon suatu keputusan sebagaimana yang telah
dinyatakan di atas adalah konklusi atau kesimpulan yang diambil dari satu set
premises-premises baik nilai maupun fakta. Simon membuat dikhotomi antara fakta
dan nilai dan penyelidik seharusnya berfokus pada fakta dari suatu situasi
karena fakta mempunyai unsur empiris. Disini investigator/ peneliti dapat
menyampingkan unsur-unsur nilai untuk dianalisis kemudian atau tidak menjadi
bahan pertimbangan sama sekali, karena unsur nilai adalah sulit untuk
dianalisis.
ad.2.
Instrumental Rationality
Bagi Simon Goals
(tujuan) dan Purposes (arah) dianggap sebagai sesuatu yang given.
Dengan demikian rasionalitas hanya
kecil pengaruhnya dalam formulasi dari goals dan purposes, juga pada values
atau nilai-nilai tersebut. Lebih lanjut Simon menyatakan bahwa otoritas atau
kewenangan adalah kekuasaan untuk membuat keputusan yang membimbing tindakan-tindakan
orang lain. Pentingnya otoritas dalam organisasi karena kewenangannya sebagai
sebuah konsekuensi pembuatan keputusan-keputusan secara hirarkis. Walaupun
Simon umumnya memaksimumkan utility atau efisiensi tetapi ia melihat
adanya keterbatasan-keterbatasan dari model rasional tersebut.
ad.3.
Satisficing
Yaitu
batasan dari pengambilan keputusan yang sifatnya rasional. Menurut Simon
rasionalitas dalam setting administrasi sesungguhnya adalah “bounded
rationality atau rasionalitas terbatas. Keterbatasannya itu ada dalam tiga
hal :
a.
Rasionalitas
memerlukan pengetahuan yang lengkap dan antisipasi dari pada setiap konsekuensi
yang mengikuti tiap-tiap pilihan. Dalam kenyataannya pengetahuan tentang
konsekuensi sifatnya fragmentaris.
b. Karena
konsekuensi-konsekuensi tersebut ada diwaktu yang akan datang maka orang harus
mempergunakan imaginasi untuk menutupi perasaan kekurangan pengalaman di dalam
menambah atau memperkirakan nilai-nilai pada konsekuensi tersebut. Tetapi harus diingat bahwa nilai-nilai
hanya dapat diantisipasi secara tidak sempurna.
c. Rasionalitas memerlukan suatu pilihan
diantara perilaku-perilaku alternatif sebanyak mungkin. Dalam kenyataannya
alternatif perilaku itu hanya sedikit yang dapat diperkirakan. Dengan kata lain
rasionalitas dari seorang administrator terbatas oleh kebiasaan dan
keterampilannya yang tidak disadarinya. Terbatas pula oleh nilai-nilai dan
konsepnya tentang tujuan. Tambahan pula informasi dan pengetahuan yang ada pada
dirinya tidak lengkap. Hasilnya karena rasionalitasnya terbatas tersebut maka
administrator akan mencari alternatif optimal yang tersedia baginya. Si
administrator bersikap satisficing dalam arti baik kondisi serta tujuan
organisasi sebagaimana yang dipahaminya atau secara lebih mudah rasionalitas
terbatas itu disebabkan karena keterbatasan informasi, pengetahuan,
keterampilan dari si pembuat keputusan.
III. PENUTUP
Mekipun ada semacam pesimisme
dari sementara ahli, namun ternyata Birokrasi masih cukup favorit untuk
dibahas. Birokrasi ini ternyata menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari
(unavoidable), karena untuk urusan apapun kita tetap akan berhubungan dengan
birokrasi. Sebenarnya dengan tipe idealnya, birokrasi dimaksudkan untuk
memperlancar, mempermudah, mempercepat, mengefisienkan proses adminsitasi, namun
apa yang terjadi tidak selalu demikian. Kesan yang negatif selalu muncul.
Termasuk dalam kelompok pelopor teori
klasik adalah, Frederik W. Taylor, yang meski latar belakang pendidikan dan
pekerjaannya adalah dibidang teknik, ia dikenal sebagai “bapak manajemen
ilmiah”. Pemikirannya yang cemerlang mampu mengembangkan suatu cara terbaik
untuk metode kerja yang baru, menciptakan standar kerja, menemukan orang yang
tepat untuk suatu jenis pekerjaan tertentu melalui proses seleksi dan
menyediakan peralatan dan perlengkapan kerja yang terbaik bagi pekerja.
Pelopor teori klasik lainnya adalah Henry
Fayol yang sangat terkenal dengan 14 prinsip administrasi yang ditulis dalam
bukunya berbahasa Perancis Administration
Industrielle en Generale. Dari enam jenis kegiatan sebuah perusahaan
ternyata yang lebih banyak disorot oleh Fayol adalah hal yang terahir yakni
aspek manajerial, sementara lima kegiatan yang lain tidak banyak mencurahkan
perhatiannya karena sudah banyak ahli lain yang membahasnya.
Dalam
bukunya “Administrative Behaviour”, Herbert Simon mengemukakan tiga tema
utama dalam proses pengambilan keputusan dalam organisasi yaitu :
- Keputusan adalah kegiatan sentral dari organisasi.
- Instrumental reason atau alasan-alasan instrumental adalah bersifat sentral di dalam perbuatan keputusan administratif dan pemahaman organisasi.
- Konsep satisficing atau memuaskan yang merupakan pembatalan yang signifikan terhadap rasionalitas dan dampaknya terhadap perilaku organisasi merupakan kondisi utama di dalam pembuatan keputusan.
Mengawali teori klasik di bidang administrasi
publik ini adalah teori Birokrasi dari Weber. Ternyata ada sedikit perbedaan
pandangan penulis mancanegara dengan penulis dalam negeri tentang birokrasi.
Teoritisi lainnya yang masuyk kelompok klasik ini adalah Taylor dan Fayol.
Apabila kita mengkritisi teori-teori Neo Klasik
maka yang menarik adalah pandangan Herbert Simon tentang Konsep Rasionalitas
Murni (Pure Rationality) dan Rasionalitas Terbatas (Bounded
Rationality) pada proses pengambilan keputusan di dalam organisasi.
Demikian juga perbandingan pemikiran-pemikiran intelek dari Herbert Simon dan
Chester Barnard.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirdjo,
Prayudi, Teori Organisasi, Jakarta, STIA – LAN Press, 1999.
Barzelay,
Michael, Breaking Through Bureaucracy, University of California
Press, Californa, 1992
Baker, R.J.S. Administrative
Theory and Public Administration : London, Hutchinson & Co (Publishers)
LTD, 1972.
Caiden, Gerald
E., Public
Administration, Pacific Palisades Cal. : Palisades
Publishers, 1987
Darwin, Muhadjir, DR., Diklat Kuliah Teori
Administrasi Negara, Program S2 Administrasi Negara. Tahun 1993.
Denhardt, Robert, Public Administration An Action
Orientation, Third Edition, New
York, Harcourt
Brace College
Publishers, 1999.
Gerloff, Edwin, Organizational Theory and Design
(A Strategic Approach For Management) New York, McGraw-Hill Book Company, 1985.
Harmon,
Michael and Richard Mayer, Organization Theory for Public
Administration, Little Brown & Co, Boston, 1986
Harmon, Michael
M., Action Theory for Public
Administration, New York, Longman Inc., 1981.
Hooge, Organization Theory, Fifth Edition,
Prentice-Hall International, America,
1996.
Hummel, Ralph P.,
The
Bureaucratic Experience, Second Edition, St Martini Press, New York, 1982
Khandwalla,
Pradip, N, Design of Organisation, Harcourt Brace Jovanovich, New York, 1997.
Koontz, Harold, Manajemen, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 1986
Maurer, John G, Reading Organization Theory,
New York,
Random House, 1971.Daft, Richard L, Essentials of Organization Theory &
Design, Second Edition, Australia,
South – Western, 2001.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
“Profil Birokrasi dalam Mendukung Peningkatan Kinerja Pelayanan Aparatur”
Makalah dalam Seminar Nasional Birokrasi Pemerintah : Kualitas Layanan
Masyarakat Sekarang dan Masa Depan, Semarang: PS. Ilmu Adm. Negara FISIP UNDIP,
1995
Osborne, David dan Ted Gaebler, Mewirausahakan
Birokrasi, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1997.
Robbins, Stephen P, Teori Organisasi
(Struktur, Desain & Aplikasi), Edisi 3, Jakarta, Ancan, 1994.
Ripley dan Franklin, Policy Implementation
and Bureaucracy, Second Edition, The Dorsey Press, Homewood, Illionis, 1982
Setiyono, Budi, Birokrasi dalam Perspektif
Politik dan Administrasi, Puskodak Fisip Undip, Semarang 2004
Stoner, James, Management, Second Edition,
New Delhi,
Prentice Hall of India Private Limited, 1985.
-------------------, Manajemen, jilid 1, edisi
kedua, penerbit Erlangga, Jakarta, 1986.
Thoha, Miftah, Birokrasi Indonesia dalam Era
Globalisasi, Batang Gadis, Jakarta, 1995
Thoha, Miftah, “Demokrasi dalam Birokrasi
Pemerintah Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi” Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada FISIPOL - UGM, Yoyakarta, 1999
Warella, Y.Budaya Birokrasi yang Kondusif sebagai Prasyarat
Terciptanya Pemberdayaan Ekonomi Rakyat” Makalah dalam Seminar Nasional
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Semarang : Senat Mahasiswa FISIP UNDIP, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar